iMusic – Akhirnya kapal Ombak Banyu Asmara berlabuh
juga di dermaga terakhirnya: di kuping kalian, tempat kita semua tenggelam ke
dalam pusaran dendang rock
selancar kontemporer, album penuh kedua The
Panturas yang lentur menjelajahi
pelbagai dimensi perangai manusia.
Dari
timur mereka berlayar ke barat, memikat dengan cerita dan deras eksplorasi
terhadap pembastaran tradisi musik Dick
Dale. The Panturas keluar
dari bentuk konvensional guna menemukan otentisitas yang tidak ditemukan di
kebanyakan band surf rock yang beredar lainnya, hingga menghasilkan sebuah
album eksplosif yang matang lagi kaya dan menantang.
“Kami
menyebutnya kelab rock selancar kontemporer yang berbasis pada garage rock dan percampuran unsur punk,” cetus bassis Bagus ‘Gogon’ Patria menjelaskan visi musikal The Panturas.
Album
ini dibuka oleh komposisi instrumentalia berjudul Area Lepas Pantai, The
Panturas memberi transisi sempurna dari polosnya debut Mabuk Laut menuju
sepuluh lagu yang secara aransemen digubah rancak menuturkan ragam budaya yang
tersaji di setiap nomor album ini.
Seperti
dikatakan dramer Surya
‘Kuya’ Fikri Asshidiq, bahwa
mereka telah merambah pengaruh-pengaruh musikal lebih lebar, “Kami banyak
mendengarkan referensi baru di luar wilayah surf music puritan, semisal Takeshi Terauchi atau Yanti
Bersaudara. Ombak Banyu Asmara coba
mendobrak kebiasaan yang sudah pernah Panturas lakukan sebelumnya. Kami tidak
ingin tertebak.”
Benar
saja. The Panturas menciptakan dunia kecil di atas kapalnya. Ketika
menceritakan seorang bandit penipu di perantauan dalam lagu Tipu Daya, mereka melukiskannya lewat corak melodi calypso Karibia yang perkusif dengan harmonisasi koor vokal ala Wilmoth Houdini bergitar fusion Turki dan rock selancar Jepang.
Kemudian
muncul kisah tragis tentang Jim
Labrador seorang preman fiktif
yang DNA karakter penokohannya dicomot dari Hercules, Anwar Congo, dan Sugali.
Atau Balada Semburan Naga yang mengawinkan unsur oriental Mandarin dengan
gambang kromong di mana Adipati, vokalis band hc/punk The Kuda diundang sebagai
tamu duel bagi penyanyi Abyan
‘Acin’ Zaki Nabilio dan sukses mengimpersonifikasi selera humor cablak Benyamin S.
Jurus
duet selanjutnya hadir pada nomor pamungkas berjudul Masalembo, menggamit Nesia
Ardi dari NonaRia yang bernyanyi genit bak June Carter menaklukkan karnival broadway.
Terasa sinematik lagaknya begitu belalai seksi brass lagu itu diliukkan, satu
lagi kredo imajinatif diberikan kepada The Panturas dalam hal kemampuan mereka
menggoda-gado hibrida.
Termasuk
unsur Sunda di lagu Menuju Palung Terdalam dan keroncong gipsi di lagu Tafsir
Mistik, serta sebundel tembang instrumental lain; Menuju Palung Terdalam, Intana,
dan Ombak Banyu Asmara. Semua eksplorasi tersebut lantas dilengkapi sebuah lagu
pop bergaya sengau yang nantinya akan dibuatkan film pendek berjudul All I Want
yang akan dibintangi oleh Prisia Nasution, Dimas Danang, dan Tio
Pakusadewo.
Di
balik segala pencapaian maksimal album Ombak Banyu Asmara tidak bisa dilepaskan
dari supervisi sang produser, Lafa Pratomo. Hasrat artistik The Panturas pun
dapat terakomodasi dengan baik, membantu mereka menemukan keseimbangan perihal
ego aransemen, eksperimen maupun kesempurnaan tata suara yang tersaji.
Album
ini membuktikan satu hal penting bagi kelanjutan arah musikal The Panturas:
integritas mereka dalam menemukan orisinalitas. Tidak hanya itu, demi kampanye
menyeluruh The Panturas akan mendukung album ini dengan menggelar grafiti mural
di 5 kota oleh seniman Arnis Muhammad sebagai usaha untuk mengembalikan geliat
artistik langsung penetrasi ke ruang publik.
Ombak Banyu Asmara serentak terbit di semua wadah digital pada 10 September 2021, dan segera menyusul deluxe album fisiknya via La Munai Records. (FE)