iMusic
– Anugerah Musik Indonesia (AMI Awards) adalah ajang penghargaan tertinggi bagi
industri musik indonesia yang diberikan oleh Yayasan Anugerah Musik Indonesia
(YAMI). Seiring dengan usianya yang di tahun 2019 ‘ini memasuki tahun ke-22.
YAMI berharap bahwa eksistensi yayasan ini bisa terus memberikan kontribusi
nyata kepada khasanah musik Indonesia.
Tahun
2019 ini tema yang diusung adalah “Musik Bahasa Dunia.” Ini adalah
kesinambungan dari tema-tema sebelumnya, di mana pada tahun 2016 membawa tema
“Music Is My ldentily’, musik sebagai identitas bangsa. Dilanjutkan dengan tema
“Musik Tanpa Batas” pada tahun 2017 ketika era digital semakin berkembang dan
orang bisa menikmati musik secara fleksibel kapan pun. di mana pun dan dengan
cara apapun. Kemudian 2018 mengangkat “Satu Musik Indonesia’, di mana tidak ada
lagi pemisahan antara musik di ranah mainstream atau side stream. karena semua
musik punya kesempatan yang sama dinikmati dalam satu layanan digital.
Tahun
2019 ini AMI dengan bangga mengusung tema “Musik Bahasa Dunia” setelah
mengamati karya-karya musisi Indonesia semakin meningkat secara kualitas, bisa
bersaing dengan karya musisi luar negeri, dan bahkan dinikmati oleh penggemar
musik di mancanegara. Generasi X dan Y yang mempunyai aspirasi besar di bidang
musik. semakin mempunyai kesempatan lebih mudah untuk mengeksplorasi musik,
bahkan berkolaborasi dengan musisi dan produser manca negara. Pilihan dalam
menciptakan musik dalam bahasa Inggris pun memberi peluang karya mereka
dinikmati secara intemasional. Sehingga tidak heran jika dalam layanan musik
digital secara streaming, karya musik dari Indonesia bisa dalam satu playlist
dengan karya musisi mancanegara. Keberanian mengusung bahasa daerah dalam karya
musik anak bangsa juga patut diapresiasi. Ini membuktikan bahwa musik sebagai
bahasa dunia, bisa dinikmati tanpa batas secara universal.
Dengan
perubahan yang signifikan pada industri musik di era digital inilah YAMI
berkomitmen untuk berkiprah lebih aktif demi memberikan kontribusi pada
kemajuan industri musik tanah air. Hal ini terwujud dalam upaya peningkatan
berbagai aspek baik secara kualitas maupun kuantitas.
Pendaftaran
secara online yang sudah dikenalkan di tahun 2017, saat ini mengalami
peningkatan pesat. Tahun ini berhasil dihimpun 1973 karya yang dikurasi secara
kompeten oleh para entrees.
Terkait
penyeleksian karya, YAMI saat ini berupaya terus untuk meningkatkan kualitas
dan kuantitas anggotanya. Saat ini sudah ada 2.754 peserta yang tergabung di
AMI. Ada dua keanggotan di YAMI yaitu “Anggota Reguler” dan “Anggota
Swara.“ YAMI membuka kesempatan sebanyak mungkin kepada siapapun untuk
bergabung sebagai “Anggota Reguler,” di mana mereka mempunyai hak untuk
menentukan para calon nominasi. Sedangkan “Anggota Swara,” yang pesertanya
adalah para pelaku industri musik seperti komposer. produser, penata musik, dll
dipilih berdasarkan seleksi yang ketat dan kompeten. Karena mereka inilah yang
mempunyai hak untuk menentukan calon nominasi dan penerima penghargaan AMI.
Berbagai
sosialiasi sudah dilakukan oleh YAMl, salah satunya bekerja sama dengan Badan
Ekonomi Kreatif (BEKRAF) menggelar acara ‘MUSlKOLOGl’, sebuah konferensi musik
dengan program edukasi sharing knowledge dari para ahli dan praktisi industri
musik untuk memberikan pengetahuan dan wawasan baru tentang industri musik,
serta coaching clinic. Acara yang telah digelar di 6 kota yaitu Jogjakarta,
Palembang, Medan, Ambon, Manado dan Surabaya ini mendapatkan apresiasi bagus
dari para peserta.
Dari
periode Juli 2018 Juni 2019, semua data yang masuk dikumpulkan, kemudian
diadakan “Sidang Kategorisasi,” yaitu kegiatan untuk menempatkan semua
lagu pada genrenya masing-masing dan sekaligus menentukan kategorisasi. Di
sidang inilah YAMl mengundang para pakar dari berbagai bidang dan genre untuk
memberikan penilaian. Setelah kategorisasi selesai, kemudian diedarkan kepada
seluruh “Anggota Reguler” dan “Anggota Swara” untuk menentukan calon nominasi
lewat voting secara online. Selanjutnya data hasil voting akan diumumkan ke
public dalam bentuk siaran pers nominasi 22nd AMI AWARDS,yang diadakan pada tanggal
08 Oktober 2019 di Sarinah Thamrin It. UG dengan bintang tamu Ardhito Pramono,
Lesti dan Trisouls. Pemilihan lokasi Presscon di San’nah bukan tanpa alasan,
tentunya karena ajang AMI Awards sejalan dengan visi Sarinah yang sama sama
ingin meningkatkan kecintaan masyarakat Indonesia terhadap produk. seni dan
budaya dalam negeri serta membawa ke kancah internasional. Selanjutnya daftar
nominasi akan masuk ke voting online tahap 2 yang dilakukan oleh anggota swara
untuk menentukan penerima trophy AMI Awards.
“Kami
sudah bekerja keras meningkatkan layanan, semoga semua proses dapat dijalankan
‘ secara fair, transparan,. dan berintergritas sehingga hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik.” jelas Dwiki Dharmawan, Ketua Umum Yayasan
Anugerah Musik lndonesia.
Keseluruhan
ken’a YAMl diatas nantinya dapat disaksikan pada 28 November 2019 ketika malam
puncak “Penganugerahan AMI Awards.”
Dukung
terus musik indonesia. Mari maju bersama di era digital. (FE)
iMusic.id – Setelah lebih 2 dekade bersama, 7 album studio dan sederet single lepasan, The Rain masih bertahan dengan formasi awal sejak berdiri pada tahun 2001. Indra Prasta (vokal, gitar), Iwan Tanda (gitar, vokal), Ipul Bahri (bass, vokal) dan Aang Anggoro (drum, vokal).
Akhir November 2025, beberapa minggu menjelang ulang tahun The Rain ke- 24, grup asal Yogyakarta ini merilis sebuah single baru berjudul “Cerita yang Tersimpan”.
“Salah satu cara kami bersyukur masih diberi umur dan tetap bersama selama ini adalah dengan berkumpul dan melahirkan karya baru, ini juga wujud terima kasih kami pada teman-teman yang menggemari lagu-lagu The Rain selama ini, pada para The Rainkeepers”, ujar Indra.
Dari balutan aransemennya, lagu anyar The Rain ini terdengar seperti mesin waktu yang membawa pendengar ke akhir dekade 80-an. “Kami mencoba beberapa aransemen untuk lagu ini dan ternyata rasanya paling cocok dibawa ke era 80-an,” ujar Iwan.
Di studio, mereka bernostalgia mendengarkan lagu-lagu dari Richard Marx dan Def Leppard sebagai referensi saat mengerjakan aransemen lagu ini.
“Dulu saat remaja, kami memang tumbuh dengan lagu-lagu di era tersebut, jadi tak sulit untuk menghadirkan kembali nuansanya lewat lagu ini,” tambah Ipul.
“Dari sisi lirik, lagu ini bercerita tentang sebuah kesalahan, sebuah hubungan yang tak diakui terjadi. “Pelik deh.. hahaaa,” sahut Aang yang juga dipercaya untuk mengerjakan artwork single ini.
Cerita yang Tersimpan menjadi single lepasan ke-7 yang The Rain rilis setelah album “Mereka Bilang Kita Terjebak Bersama” dirilis pada 2022. Akankah di tahun 2026 nanti album ke-8 The Rain akan dirilis?
iMusic.id – BASEJAM hadir dengan single terbaru yang merupakan penghormatan terhadap salah satu legenda musik Indonesia, The Godfather of Broken Heart, Didi Kempot. Single ini merupakan daur ulang dari salah satu hits terbesar Didi Kempot yaitu, “Pamer Bojo”.
Para pecinta musik Indonesia tetntu masih ingat lagu-lagu legendaris dari legenda musik Indonesia, Didi Kempot, termasuk lagu berjudul “Pamer Bojo”? BASEJAM merilis ulang lagu ini di bulan Desember 2025 ini. Single yang dirilis tepat di bulan kelahiran Didi Kempot merupakan bentuk penghormatan dan sekaligus pelepas rindu akan karya-karya hebat Didi Kempot.
Pemilihan sosok Didi Kempot bukanlah tanpa alasan. Menghormati dan melestarikan karya seorang tokoh musik Pop Jawa terbesar, sudah sewajarnya dilakukan oleh setiap musisi Indonesia. BASEJAM berharap interpretasi yang dihadirkan dapat diterima dan dilihat sebagai hasil usaha terbaik. Jasa Didi Kempot sangatlah besar dalam mempopulerkan musik Pop Jawa sehingga menjadi musik yang sangat dekat dengan masyarakat, tidak hanya orang Jawa, tapi hingga ke Suriname. Dan ini juga bentuk partisipasi BASEJAM dalam melestarikan salah satu kekayaan bangsa, yaitu Bahasa daerah Jawa.
“Sudah beberapa tahun BASEJAM terpikir mengeluarkan single yang merupakan aransemen ulang lagu dari seorang tokoh legendaris. Kalau di panggung sih sudah beberapa kali, tapi kalau merekam dan merilis, ini baru pertama kali. Oleh karena itu, kami mengupayakan aransemen terbaik yang masih terdengar BASEJAM tapi tidak menghilangkan ciri dan pesan lagunya”, ujar Sita.
Menjelang usia BASEJAM ke-32 tahun, sebuah hal baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya berhasil diwujudkan, yaitu mengaransemen ulang satu lagu milik legendaris maestro Pop Jawa Didi Kempot yang berjudul “Pamer Bojo”.
“Dari awal memilih lagu apa yang mau kami aransemen ulang, lagu Pamer Bojo memang menjadi salah satu pilihan teratas. Kami merasa inti cerita lagu ini sangat menggambarkan esensi Pakde Didi Kempot yang dikenal dengan Godfather of Broken Heart. Jadilah akhirnya pilihannya jatuh ke lagu “Pamer Bojo”, ujar Alvin.
“Saya sebagai orang Jawa dan sebagai personil BASEJAM, merasa interpretasi BASEJAM akan “Pamer Bojo”bisa dibanggakan lah. Mungkin terdengar tidak obyektif, tapi kalau orang lain mendengarnya akan punya pendapat yang miriplah, bahwa aransemen ini cukup baru, tapi tetap BASEJAM, tapi juga tetap lagu “Pamer Bojo””, ujar Oni.
“Salah satu pengalaman berharga dalam proses produksi kali ini adalah proses kolaborasi yang bertema Nusantara alias Indonesia. Lagu Jawa, kini dinyanyikan oleh penyanyi yang salah satunya adalah orang Sunda, dibantu teman kami si pengarah vokal Bakhes Igirisa yang adalah orang Sulawesi, aransemen dibantu oleh teman kami Figgy Papilaya dari Ambon serta penata suara Bennytho Siahaan yang merupakan orang Batak. Jadi, ini merupakan pengalaman yang tak ternilai harganya. Seakan-akan menjadi bukti bahwa walau Pakde Didi sudah tidak ada, beliau tetap jadi pemersatu banyak orang sambil menikmati karya beliau”, ujar Alsa.
“Tantangan banget buat aku yang nggak ngerti bahasa Jawa, jadi belajar arti liriknya agar dapat menghayati isi lagunya dan juga belajar artikulasi kata Jawa yang benar. Ini rekaman yang paling medok yang pernah aku lakukan! Tapi, bersyukur banget bisa punya kesempatan merekam ulang lagu ini, salah satu mimpi kami, BASEJAM, yang berhasil kami wujudkan”, ujar Sigit
Lagu “Pamer Bojo”memiliki pesan yang lebih dalam dari sekedar arti judul lagunya. Lagu ini menceritakan bagaimana seseorang merasa tersakiti karena ketika dia belum bisa move on dari mantannya, ternyata si mantan sudah menjalin hubungan baru, sudah bahagia dengan yang lain dan sudah “memamerkan” pasangan barunya. Rasa sakit dan sedih dialami seseorang yang ditinggalkan dan terlupakan.
Pesan ini coba diterjemahkan dalam aransemen musik ciri khas BASEJAM yang bergenre Pop, dengan warna vokal Sigit dan Alvin. Hasil yang dikeluarkan adalah warna “Pamer Bojo”yang terdengar lebih segar, kekinian, tapi tetap terdapat ciri khas medok Pop Jawa.
Pendengar akan dikejutkan dengan beberapa hal yang tidak pernah BASEJAM hadirkan di karya-karya sebelumnya, baik dari segi aransemen musik maupun vokal.
Penasaran? Langsung dengarkan lagu “Pamer Bojo”versi BASEJAM di semua digital streaming platform. Single baru BASEJAM, “Pamer Bojo”sudah dapat dinikmati di semua Digital Music Platform.
iMusic.id – “Long live ‘70s Indonesian rock, this is Baby Rock by SAS”, begitu suara DJ Cotter Phinney saat siaran khusus satu jam di radio KPiss FM, Brooklyn, New York pada akhir, minggu lalu. Cotter, pemilik label rekaman, Psychic Reader, memutar 9 lagu koleksi dari SAS dan AKA sebagai penanda atas peluncuran album koleksi Piringan Hitam SAS di New York.
Nama SAS, band legendaris asal Surabaya bukan nama asing bagi fandom psychedelic rock
Amerika. Band yang terbentuk pada tahun 1975, dengan personel Soenatha Tanjung (gitar,vokal), Arthur Kaunang (bass, keyboard) dan (alm) Syech Abidin (drum, vokal), sebelumnya bergabung dalam AKA (Anak Kali Asin) bersama Ucok Harahap, hingga akhirnya memutuskan untuk berpisah.
Trio SAS dipengaruhi oleh aliran rock era itu, seperti Emerson Lake & Palmer, Deep Purple, Pink Floyd dan Grand Funk.
“Tahun 1975, SAS merilis debut album dengan hit “Baby Rock”, sebagai sumbu ledak kelahirannya di panggung dan rekaman musik rock Indonesia”, tutur Denny MR, jurnalis dan kritikus musik Indonesia.
Bukan hanya “Baby Rock”, sejumlah lagu SAS seperti “Space Ride, Bad Shock” dan “Tatto Girl” disukai puluhan ribu fans millennial dan gen Z. Mereka memburu koleksi kaset dan piringan hitam lebih dari 15 album SAS di berbagai toko reseller.
Video lirik “Baby Rock” ditonton ratusan ribu di halaman YouTube, menunjukkan bahwa musik SAS mampu menembus semua zaman. Sejak album terakhir pada tahun 1991, untuk pertama kalinya koleksi album SAS Group, Bad Shock kembali di release dalam bentuk piringan hitam, oleh label rekaman Psychic Reader, New York.
“Dibandingkan musik dari negara lain, entah mengapa musik Indonesia seolah terabaikan, padahal banyak karya musik yang bagus”, ujar Cotter Phinney, produser Psychic Reader.
“SAS adalah band yang sangat bagus dan mereka seharusnya mendapatkan lebih banyak pengakuan. Merupakan suatu kehormatan bagi saya untuk memproduksi rekaman SAS pertama di luar Indonesia, tepatnya di New York, dan saya harap ini akan membuka pintu bagi audiens global”, tambah Cotter yang juga dikenal sebagai gitaris dan vokalis dari post punk band asal Brooklyn, Medium.
“Bagi saya, SAS reborn ini adalah suatu gebrakan kebangkitan musik Rock ‘70an. Saya tidak pernah bermimpi kalau musik SAS masih bisa hadir dan disukai hingga kini. Apalagi, album ini direlease di New York, dan bertepatan dengan anniversary SAS ke 50 tahun. Ini Mukjizat Tuhan yang besar bagi kami bertiga”, ucap Arthur Kaunang yang mengikuti proses produksi dari awal.
Sementara, beberapa bulan sebelum album ini diluncurkan. pre-order piringan hitam datang dari distributor musik di Jepang.
“Seluruh kurasi, digitalisasi-analog dan distribusi dilakukan di New York. Kami sedang memproses distribusi untuk pasar di Indonesia”, ujar Naratama, pengarah kreatif New York yang menjadi co-produser album ini.
Naratama, berharap agar peluncuran album ini akan membuka jalan bagi musisi Indonesia lain untuk masuk ke pasar Amerika.