Connect with us

iMovies

Review Crazy Rich Asians: Ajang Unjuk Gigi Besar-Besaran Sineas Asia di Hollywood

Published

on

iMovies – Kami yakin sebagian besar dari kita awalnya, tidak terlalu menggubris keeksistensian film ini. Pasalnya kita merasa sangat skeptis dengan kualitas film yang nantinya akan didapatkan dari film Asia yang diproduksi di Hollywood ini.

“Paling dibikin agak rasis”, “kisahya paling ditampilkan dengan sangat tak bermutu” ya begitulah kira-kira rasa skeptis yang kita rasakan. Pasalnya seperti kita tahu sejak dulu, Hollywood spesifiknya Amerika, tidak ingin didominasi habis-habisan oleh warganya yang memiliki keturunan ras luar Amerika.

Namun, rasa skeptis tersebut menjadi sedikit berkurang ketika kami mendengar ulasan-ulasan (review) fantastis yang didapatkan oleh film arahan Jon M. Chu (Step Up 3D) ini. Dan keskeptisan tersebut semakin sirna ketika akhirnya menyaksikan filmnya.

Yap. Crazy Rich Asians tidak hanya merupakan film adaptasi terbaik, namun juga merupakan film Asia-Amerika terbaik yang pernah diproduksi oleh Hollywood sejauh ini.

Oke, oke memang. Secara plot, film yang mengisahkan lika-liku asmara antara professor ekonomi di New York University (NYU) Rachel Chu (Constance Wu) dengan putra keluarga terkaya satu Singapura Nick Young (Henry Golding) ini, terlihat dan terasa seperti kebanyakan plot-plot sinetron di negeri kita.

Tapi yang membuat sedikit berbeda adalah kemumpunian seluruh sineas yang terlibat di proyeknya ini. Spesifiknya, seluruh sineas yang terlibat bisa dikatakan adalah fanboy dari novel orisinilnya yang ditulis oleh Kevin Kwan.

Penulis Peter Chiarelli (Now You See Me 2) dan Adele Lim (Reign), terlihat sudah melahap habis-habisan seluruh halaman sumber orisinilnya yang alhasil, membuat kita-kita yang mungkin belum pernah membaca sumber orisinilnya, menjadi langsung kepingin untuk cepat-cepat membaca novelnya setelah menyaksikan filmnya ini.

Namun walau demikian, yang justru harus diberikan kredit besar disini adalah M. Chu. Sutradara berdarah Cina-Taiwan ini, sukses menampilkan arahan yang indah, elegan dan berkelas. Yap berkelas. Ini kata kuncinya. Di tangannya seluruh aktor dan aktris Asia-Amerika yang terlibat ditampilkan tidak kalah dari aktor dan aktris Hollywood top.

Bahkan karakter pendukung tukang banyol seperti Peik Lin (Awkwafina) dan ayahnya Goh Wye Mun (Ken Jeong), ditampilkan layaknya seperti tukang banyol kelas elit Hollywood. Chu benar-benar tahu bagaimana memperlakukan seluruh cast-nya dengan sangat baik.


Dan masih dalam rana cast treatment, Chu sukses menampilkan sosok Rachel yang seharusnya menjadi karakter wanita “penderita” yang tidak direstui hubungannya oleh ibunda Nick, Eleanor Young (Michelle Yeoh), menjadi sosok wanita yang tangguh dan ya bisa dikatakan badass.

Ya memang Rachel merasa kesal, sedih dan menitikkan air mata melihat calon mertuanya tidak menyukai dirinya. Tapi alih-alih ditampilkan whinny, ia ditampilkan seperti seorang pejuang yang sedang berperang.

Namun bukannya berperang di medan pertempuran dengan rentetan senjata dan bom. Rachel bertarung secara pskilogis untuk bisa membuktikan bahwa walau ia terlahir dari keluarga broken home dan tidak setajir keluarga Young, ia tetap worth untuk menjadi anggota keluarga barunya.

Dan tentunya treatment karakter ini akan membuat audiens wanita yang menyaksikan langsung merasa terinspirasi habis-habisan. Selain pengarahan dan treatment karakter, hal lain yang sukses ditampilkan Chu di film ini, adalah ia dengan sinematografer Vanja Cernjul (Orange is the New Black) mampu menampilkan lingkungan Singapura yang terlihat begitu mengagumkan.

Dijamin setelah menyaksikan film ini, bagi kita-kita yang mungkin hingga detik ini belum pernah ke Singapura, akan langsung “gatal” untuk pulang, packing, dan memesan tiket pesawat ke Singapura.

Pada akhirnya seperti yang dikatakan di paragraf pembuka, Crazy Rich Asians adalah produksi film Asia-Amerika terbaik yang diproduksi oleh Hollywood sejauh ini. Dengan dirilisnya film ini, semoga saja ke depannya, akan semakin banyak lagi film-film drama / komedi Asia yang mampu menampilkan ke-eleganan individu maupu negara Asia di mata audiens Amerika.

Kalau itu terjadi, maka bisa dipastikan perlahan tapi pasti, sikap egosenstris Amerika akan kian luntur dan makin membuka tangan kepada Asia dan bangsa / ras luar AS lainnya untuk turut mendominasi pangsa industri perfilman Hollywood. Namun apakah harapn tersebut akan menjadi nyata? Berharap saja demikian.

Score: 4 out of 5 stars

(marvi)

iMovies

Film horor “Danyang Wingit Jumat Kliwon” lekat dengan kultur budaya lokal

Published

on

iMusic.id – Antusiasme penonton terhadap “Danyang Wingit Jumat Kliwon” memuncak. Hanya beberapa jam setelah konferensi pers, lebih dari 3.000 tiket untuk Gala Premiere resmi ludes. Momentum ini menjadi sinyal kuat bahwa gelombang horor berbasis kultur Nusantara terus menemukan penontonnya.

Diproduksi oleh Khanza Film Entertainment, dan film ini disutradarai sekaligus diproduseri oleh Agus Riyanto dengan naskah karya Dirmawan Hatta. “Danyang Wingit Jumat Kliwon” menautkan atmosfer ritual, pusaka, dan mitos danyang dengan drama psikologis tentang harga sebuah ambisi mengarahkan teror bukan semata pada sosok gaib, tetapi pada keputusan-keputusan manusia yang rapuh.

Pesan moralnya tegas: hasrat akan kekuasaan dan keabadian dapat mengikis akal sehat pada titik itu, “hasrat manusia” tampil lebih menakutkan daripada perwujudan iblis itu sendiri. Celine Evangelista memerankan Citra, keponakan Mbok Ning asisten setia Ki Mangun. Citra direkrut sebagai sinden baru di sebuah padepokan, namun di balik panggilan seni itu, ia diam-diam ditetapkan sebagai tumbal terakhir dalam ritual keabadian.

Untuk memperdalam peran, Celine menjalani riset langsung ke pertunjukan wayang, mempelajari dunia nembang, dan berlatih intensif bersama acting coach.

“Saya menonton pertunjukan wayang secara langsung dan riset dari banyak aspek, karena nembang itu tidak mudah. Proses belajarnya cukup menantang, tapi justru itu yang membuat saya tertarik mengambil film ini. Saya juga ingin membuat orang-orang lebih peduli terhadap kesenian tradisional,” ujar Celine.

Di balik itu, Agus Riyanto menegaskan arah nilai yang ingin diantar pulang oleh penonton ialah. “Kita ingin mengangkat bahwa nilai budaya harus di atas nilai mistis yang tertinggal di dalamnya. Pada akhirnya penonton setelah keluar dari ruangan bioskop, membawa pesan, wayang adalah budaya Indonesia yang indah yang harus diperkenalkan ke setiap generasi, Bukan hal hal mistis yang dapat disalahgunakan untuk hal buruk.” kata Agus.

Dengan pijakan itu, “Danyang Wingit Jumat Kliwon” bukan hanya menghidupkan figur-figur penjaga tak kasat mata dalam khazanah lokal, tetapi juga mengangkat konflik keluarga dan konsekuensi ritual sebagai inti emosi cerita membuat teror terasa personal, berlapis, dan relevan. Ludesnya 3.000+ tiket Gala Premiere menjadi validasi awal bahwa perpaduan horor tradisi dan drama psikologis ini memiliki daya pikat kuat untuk peredaran nasional.

Continue Reading

iMovies

Danyang Wingit Jumat Kliwon sajikan kisah ritual tumbal manusia

Published

on

iMusic.id – Khanza Film Entertainment mempersembahkan “Danyang Wingit Jumat Kliwon”, film horor berlatar dunia pedalangan Jawa yang mengupas ambisi seorang dalang memburu hidup abadi melalui ritual terlarang.

Disutradarai sekaligus diproduseri oleh Agus Riyanto dengan naskah karya Dirmawan Hatta, film “Danyang Wingit Jumat Kliwon” ini hadir dengan mengedepankan horor okultisme yang berakar pada tradisi lokal, bukan semata deretan jump scare.

Kisahnya “Danyang Wingit Jumat Kliwon” berpusat pada Ki Mangun Suroto (Whani Darmawan), maestro dalang karismatik yang menempuh ilmu-ilmu kuno demi memperkaya diri dan menembus kematian. Tahun 2021, Citra (Celine Evangelista) keponakan Mbok Ning (Djenar Maesa Ayu), asisten setia Ki Mangun direkrut sebagai sinden baru di padepokan.

“Danyang Wingit Jumat Kliwon” menggambarkan di balik panggilan seni itu, Citra diam-diam ditetapkan sebagai tumbal terakhir untuk ritual keabadian. Demi upah yang ia harapkan untuk membantu pengobatan adiknya, Dewi (Aisyah Kanza), citra bertahan meski teror gaib makin menyesakkan. Kecurigaan Bara (Fajar Nugra), salah satu penjaga padepokan, kian menguat.

Alih-alih berpangku tangan, ia memilih menentang majikannya dan berupaya menyelamatkan Citra sebuah keputusan berisiko yang memacu mereka berpacu melawan waktu menuju puncak ritual Gerhana Bulan Merah yang bertepatan dengan malam keramat Jumat Kliwon.

Danyang Wingit Jumat Kliwon” menautkan atmosfer ritual, pusaka, dan mitos danyang dengan drama psikologis tentang harga sebuah ambisi. Antagonis yang kompleks, heroine yang dipaksa bertahan, serta momentum budaya yang lekat di ingatan publik menjadi pendorong ketegangan dari awal hingga klimaks.

Deretan pemain turut diperkuat Nathalie Holscher sebagai Putri Kusuma Ratih, serta Norma Cinta, Dimas Tedjo, Putri Maya Rumanti, Angga Wijaya, Keona Cinta, dan Bilqis Hafsa.

Continue Reading

iMovies

Ultah ke 21, Maxima Pictures perkenalkan film “Jangan Panggil Mama Kafir”

Published

on

iMusic.id – Rumah produksi Maxima Pictures bekerjasama dengan Rocket Studio Entertainment kembali menghadirkan karya terbarunya berjudul “Jangan Panggil Mama Kafir”, film yang manampilkan Michele Ziudith ini adalah sebuah film drama keluarga penuh haru yang dijadwalkan tayang serentak di seluruh bioskop Indonesia mulai 16 Oktober 2025.

Film yang digarap oleh sutradara Dyan Sunu Prastowo ini menghadirkan kisah tentang cinta, janji, perbedaan iman, hingga konsekuensi dari sebuah keputusan besar dalam hidup. Cerita berpusat pada sosok Maria (Michelle Ziudith), seorang perempuan Nasrani yang menikah dengan pria Muslim bernama Fafat (Giorgino Abraham).

Menurut Dyan Sunu Prastowo, “Jangan Panggil Mama Kafir” lahir dari kenyataan yang dekat dengan masyarakat kita. “Film ini lahir dari kisah nyata perjuangan seorang ibu (Michele Ziudith) lintas iman memperjuangkan hak asuh anaknya, sebuah perjalanan emosional yang hangat namun penuh tantangan, mengingatkan kita bahwa cinta tak pernah mengenal batas perbedaan, ruang, dan waktu meski pada akhirnya akan lebih utuh bila dijalani dalam satu keyakinan,” ungkapnya.

Bagi Michelle Ziudith, peran sebagai Maria menjadi tantangan tersendiri. Ia mengaku banyak belajar dari karakter yang diperankannya. “Tantangan terbesarku adalah menjadi ibu tunggal yang harus tegar demi anak. Pesanku sederhana, seorang ibu harus bisa mencintai dirinya sendiri lebih dulu agar kasih sayangnya kepada anak semakin penuh,” ujarnya.

Sementara itu, Giorgino Abraham menuturkan pentingnya karakter Fafat yang meski singkat tetap menjadi fondasi cerita. “Peran Fafat memang tidak banyak muncul, tapi justru menjadi pengantar penting bagi jalan cerita. Yang membuatku tertarik adalah bagaimana karakter ini menunjukkan cinta tanpa paksaan serta menghargai perbedaan dengan toleransi tinggi. Bagiku, sebesar apa pun agama, relasi keluarga terutama cinta seorang ibu dan anak tetap berada di atas segalanya,” katanya.

Elma Theana, yang memerankan Umi Habibah, juga menilai tokoh yang ia mainkan begitu dekat dengan kehidupan nyata. “Umi Habibah adalah representasi banyak orang tua yang keras karena ingin melindungi. Saya yakin penonton akan melihat sisi manusiawinya, meski caranya berbeda,” tuturnya.

Selain Michelle Ziudith, Giorgino, Humaira, dan Elma Theana, film ini juga menampilkan akting Kaneishia Yusuf, Indra Birowo, Tj Ruth, Dira Sugandi, Ence Bagus, Emmie Lemu, Gilbert Patiruhu, Pratiwi Dwiarti, hingga Runny Rudiyanti.

Kehadiran aktor lintas generasi ini menambah kekuatan cerita yang sarat akan konflik batin, nilai-nilai keluarga, dan ikatan emosional yang mendalam.

“Jangan Panggil Mama Kafir” sekaligus menjadi bagian dari perayaan Ulang Tahun ke-21 Maxima Pictures di industri perfilman Indonesia. Melalui kerjasama dengan Rocket Studio Entertainment, Maxima berharap dapat memberikan karya yang bukan hanya menghibur, tetapi juga membuka ruang empati serta refleksi bagi masyarakat dalam memandang perbedaan iman dan kehidupan keluarga.

Trailer resmi film ini sudah dapat disaksikan melalui kanal YouTube MaximaChannel8, sementara informasi tiket akan tersedia melalui berbagai aplikasi pemesanan bioskop. Dengan tema yang menyentuh dan deretan pemain yang kuat, Jangan Panggil Mama Kafir digadang-gadang menjadi salah satu film drama keluarga yang paling ditunggu di penghujung tahun 2025.

Jangan lewatkan kisah tentang cinta, janji, dan perbedaan ini di bioskop mulai 16 Oktober 2025.

Continue Reading