iMusic – Jakarta, 18 Desember 2019 –
Nicholas Saputra dan Mandy Marahimin, di bawah bendera Tanakhir Films, secara
resmi merilis poster dan cuplikan (trailer) film SEMESTA, sebuah film
dokumenter berdurasi 90 menit yang berkisah tentang mereka yang merawat Indonesia.
Para protagonis film ini terdiri dari
7 sosok yang berasal dari latar belakang berbeda, mulai dari tempat tinggal,
budaya, hingga agama. Mereka berasal dari Aceh, Jakarta, Yogyakarta, Bali,
Kalimantan, Flores, serta Papua. Kehadiran ketujuh sosok ini memang dipilih
dengan seksama untuk mewakili manusia dan alam Indonesia yang beragam.
Film SEMESTA yang disutradarai
Chairun Nissa merupakan dokumenter panjang perdana Tanakhir Films. Rumah
produksi yang berdiri sejak 2013 ini sebelumnya lebih banyak memproduksi
dokumenter pendek juga film fiksi panjang. Film SEMESTA juga menjadi nominator
sebagai film dokumenter terbaik Festival Film Indonesia. Bulan November lalu,
film ini telah melakukan World Premiere di Suncine International
Environmental Film Festival, sebuah festival film di Barcelona yang khusus
untuk film dokumenter bertema lingkungan.
“Menurut kami dokumenter merupakan
medium yang bisa benar-benar mengangkat soal keindonesiaan. Selain itu kami
ingin menghapus stigma bahwa dokumenter adalah tontonan yang membosankan.
Makanya kami membuat SEMESTA dengan suguhan berbeda agar orang tidak bosan
saat menyaksikannya,” ujar Mandy Marahimin, produser sekaligus pendiri Tanakhir
Films bersama Nicholas Saputra.
Suguhan berbeda yang dimaksudkan
Mandy Marahimin terlihat dari nilai produksi film ini, terutama dari segi
pengambilan gambar, perekaman suara dan pembuatan musik ilustrasi, hingga pada
tahap penyuntingan.
“Dari awal kami sudah mendesain film
ini sebagai dokumenter yang tidak hanya untuk disaksikan di televisi, tapi juga
di bioskop. Dengan standar seperti itu, maka pengerjaan pascaproduksi film ini
kami perlakukan sama dengan film-film fiksi. Latar belakang saya dan Nicholas
Saputra yang sebelumnya berkecimpung dalam produksi film-film fiksi sangat membantu,”
tambah Mandy Marahimin yang sebelumnya tercatat menjadi produser eksekutif
film Kulari ke Pantai (2018), Keluarga Cemara (2019),
dan Bebas (2019).
Hal-hal yang disebutkan tadi terlihat
dalam cuplikan film SEMESTA yang berdurasi dua menit. Melalui tangan Aditya
Ahmad selaku sinematografer, kamera bergerak dinamis menyorot gambar bukan
hanya dari darat, tapi juga di udara dan menembus ke dalam air laut. Aditya
Ahmad juga dikenal sebagai sutradara film pendek andal. Prestasinya tidak hanya
terukir di pentas festival film dalam negeri, tapi juga menyeberang hingga ke
mancanegara. Film pendek terakhirnya, Kado, menjadi film pendek terbaik di
Venice Film Festival.
Penataan musik oleh Indra Perkasa,
dan penataan suara oleh Satrio Budiono, Indrasetno Vyatrantra, dan Hasanudin
Bugo, berhasil menambah nyawa setiap adegan sehingga semakin menambah daya
tarik film yang sudah tampak dalam cuplikannya. Kuartet ini sudah menghiasi
banyak film layar lebar di Indonesia.
Sementara editing film ini ditangani
oleh Ahsan Andrian, yang sebelumnya pernah mengedit Filosofi Kopi dan
mendapatkan piala Citra dari film itu. Kehadiran dan kolaborasi seluruh kru di
belakang layar film ini membuat film SEMESTA jadi semakin layak ditonton saat
tayang di bioskop.
“Dengan sajian kisah-kisah dari
berbagai penjuru Indonesia, film ini membuka wawasan kita, dan memberikan
inspirasi, untuk berbuat sesuatu sekecil apa pun itu. Sebab apapun latar
belakang agama, budaya, profesi, dan tempat tinggalmu, kita tetap bisa berbuat
sesuatu untuk alam Indonesia dan dunia yang sekarang tengah mengalami krisis,”
pungkas Nicholas Saputra.
Film SEMESTA akan tayang terbatas di
bioskop mulai 30 Januari 2020.
Film Semesta berkisah
tentang tujuh sosok dari tujuh provinsi Indonesia yang bergerak memelankan
dampak perubahan iklim dengan merawat alam atas dorongan agama, kepercayaan,
dan budaya masing-masing.
Melalui rangkaian kisah tujuh sosok
inspiratif ini, film Semesta mengajak kita berkeliling sembari
menikmati kekayaan alam di Tanah Air, mulai dari titik ujung barat, yakni Desa
Pameu, Aceh, hingga menuju bagian ujung timur Indonesia, tepatnya di Kampung
Kapatcol, Papua.
Rangkaian kisah mereka yang merawat
alam Indonesia ini akan mengajak kita semua untuk ikut berperan dalam
memelankan dampak perubahan iklim melalui langkah kecil yang bisa kita lakukan
masing-masing.
Film Semesta adalah debut Tanakhir Films memproduksi film dokumenter panjang. Sebelumnya film ini berhasil menjadi nomine dalam kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik di Festival Film Indonesia 2018. Film ini juga terseleksi untuk diputar di Suncine International Environmental Film Festival yang berlangsung di Barcelona, Spanyol (6-14 November 2019). (FE)
iMusic.id – Setelah sukses menggelar penayangan perdana di Indonesia di JAFF20, film produksi BASE Entertainment, Beacon Film, Refinery Media, dan didukung oleh Singapore Film Commission (SFC) dan Infocomm Media Development Authority (IMDA), Film “Esok Tanpa Ibu” (Mothernet) merilis official trailer & poster yang mengharukan dan hangat.
Menggambarkan dinamika hubungan keluarga kecil Cimot atau Rama bersama kedua orangtuanya, official trailer “Esok Tanpa Ibu” menampilkan kedekatan anak remaja bernama Cimot (Ali Fikry) dengan Ibunya (Dian Sastrowardoyo). Semua kegelisahan dan keceriaan, selalu Cimot bagikan ke sang Ibu. Sementara, Cimot lebih memilih rapat-rapat menyimpan rahasia hidupnya dengan sang Bapak (Ringgo Agus Rahman).
Namun, kejadian tragis membuat hari-hari bahagia Cimot berubah. Ibunya mengalami koma. Ia pun kehilangan kasih sayang yang selalu merangkulnya. Sementara hubungannya yang canggung dengan sang Bapak, justru semakin merenggang dan menimbulkan konflik relasi anak-orangtua.
Lagu “Jernih” dari Kunto Aji dan “Raih Tanahmu” dari hara & Nosstres yang ada di official trailer “Esok Tanpa Ibu” juga mampu memberikan dimensi emosi yang semakin menyentuh. Momen dramatis terjadi saat Ibu yang tengah koma, kini kembali bisa berinteraksi dengan Cimot dan Bapak, namun dalam wujud kecerdasan buatan (AI). Mampukah wujud baru itu menggantikan kasih Ibu selamanya?
Di official poster, dengan indah ditampilkan Dian Sastrowardoyo, Ali Fikry, dan Ringgo Agus Rahman berbaring dalam sebuah taman bunga putih, dengan bingkai serupa layar gawai yang menjadi representasi film ini, antara kasih sayang yang tumbuh secara manusiawi dan imitasi yang mencoba mensubstitusi.
Disutradarai oleh sutradara Malaysia Ho Wi-ding dari naskah yang ditulis oleh Gina S. Noer, Diva Apresya, dan Melarissa Sjarief, film “Esok Tanpa Ibu” Ibu diproduseri oleh Shanty Harmayn dan Dian Sastrowardoyo. Film ini juga menjadi kolaborasi internasional.
Selain Ali Fikry, Dian Sastrowardoyo, dan Ringgo Agus Rahman, film ini juga dibintangi oleh Aisha Nurra Datau dan Bima Sena.
Produser Shanty Harmayn mengungkapkan film “Esok Tanpa Ibu” melewati perjalanan yang cukup panjang. Dimulai dari ide yang dibawa oleh Gina dan Diva, film ini akhirnya siap tayang di bioskop Indonesia mulai 22 Januari 2026.
Ikuti perkembangan terbaru film “Esok Tanpa Ibu” melalui akun Instagram @base.id & @filmesoktanpaibu. Tonton film Esok Tanpa Ibu (Mothernet) mulai 22 Januari 2025 di bioskop Indonesia.
iMusic.id – Film drama keluarga terbaru yang dinanti-nantikan, “Dalam Sujudku”, secara resmi diperkenalkan melalui penayangan khusus yang diadakan oleh Project 69 di Queens Head Kemang, Jakarta, pada Jumat (12/12/2025).
Meskipun baru akan tayang serentak di bioskop seluruh Indonesia pada tahun 2026, antusiasme sudah terasa, terutama karena film “Dalam Sujudku” ini menjanjikan narasi yang sangat kuat dan dekat dengan realitas kehidupan sehari-hari, berpusat pada badai yang menguji fondasi sebuah rumah tangga.
Kisah “Dalam Sujudku” ini dengan lugas menyoroti bagaimana goncangan terbesar dalam hubungan suami istri dapat merusak kebahagiaan yang telah dibangun, memaksa pasangan tersebut untuk bergumul dengan keputusan sulit demi mempertahankan ikatan keluarga.
Inti dari cerita “Dalam Sujudku” ini berfokus pada dinamika kehidupan rumah tangga Farid, yang diperankan oleh Marcell Darwin, dan Aisyah, yang dibintangi oleh Vinessa Inez, sepasangan suami istri yang awalnya hidup harmonis bersama dua buah hati mereka. Titik balik dramatis terjadi ketika karir Farid menanjak pesat dan mengharuskannya pindah ke Jakarta, sebuah momentum yang seharusnya menjadi pencapaian namun justru menjadi pemicu keretakan. Di kantor barunya, Farid bertemu dengan rekan kerja, Rina (Naura Hakim), yang lambat laun memikat hatinya setelah sering terlibat dalam proyek kerja bersama, menciptakan sebuah chemistry terlarang yang mulai mengikis kesetiaan dalam pernikahannya.
Walaupun tak selalu mendampingi suaminya di Jakarta, Aisyah di rumah merasakan firasat kuat bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan Farid, mengisyaratkan bahwa ikatan batin mereka masih terhubung meski jarak memisahkan. Sayangnya, kecurigaan Aisyah berujung pada kenyataan pahit, ketika Farid memilih untuk menikahi Rina, meninggalkan Aisyah dalam keadaan luka batin yang mendalam.
Vinessa Inez, yang memerankan Aisyah, menggambarkan peran ini sebagai tantangan emosional yang besar. Mengenai karakternya, ia menyampaikan, “Aisyah berusaha tegar meskipun hatinya diguncang situasi yang rumit. Aku ingin penonton bisa merasakan pergolakan itu, terutama saat ia harus berdamai dengan dirinya sendiri.”
Rico Michael selaku sutradara tertarik menjadikan alur yang rumit ini sebagai film drama yang kuat karena juga ingin menampilkan karakter Rina, orang ketiga, dengan latar belakang trauma psikologis yang mendalam, sehingga “penonton nggak sekedar ‘terima jadi’ karakternya sebagai perebut suami orang,” namun dapat memahami dimensi kemanusiaannya.
Rico Michael menegaskan bahwa film ini lahir dari keinginan untuk mengangkat cerita yang aktual dan relate dengan kehidupan masyarakat, sebuah komitmen yang akan ia lanjutkan pada proyek film berikutnya yang akan mengangkat isu teror video asusila di media sosial. Hal ini menunjukkan ambisi Project 69 untuk menyajikan karya yang tidak hanya menghibur, tetapi juga memicu refleksi sosial.
Keunikan lain dari “Dalam Sujudku” adalah lokasinya yang beragam, meliputi Cimahi, Jakarta, dan Garut, yang turut memperkaya visualisasi dan nuansa cerita, menjauhkan kesan studio semata.
Meskipun judul dan posternya mungkin menyiratkan cerita drama religi, Rico Michael secara spesifik menjelaskan bahwa film ini tidak bermaksud menonjolkan aspek religius, melainkan lebih menekankan pada “usaha mempertahankan keluarga” dalam kondisi yang sangat sulit. Penekanan ini mengarahkan fokus cerita pada nilai-nilai universal tentang komitmen, pengorbanan, dan proses pemulihan. Salah satu adegan yang berhasil membalikkan emosi penonton adalah saat Farid merasakan frustrasi mendalam atas kehancuran keluarganya, momen yang sukses mengubah rasa gemas dan sebal penonton terhadap karakter tersebut menjadi rasa iba.
Sementara itu, Mamu Black Sweet sebagai pengarah musik memberi sentuhan emosional mendalam di film ini. Kontribusi Mamu Black Sweet dalam menggarap musik menjadi elemen krusial yang menyempurnakan atmosfer dramatis film ini.
Film “Dalam Sujudku” diperkuat juga oleh jajaran aktor ternama seperti Riyuka Bunga, Dominique Sandra, Chika Waode, Momo Mariska, hingga Dennis Adhiswara.
iMusic.id – Disutradarai Hadrah Daeng Ratu, film “Musuh Dalam Selimut” menghadirkan cerita tentang pengkhianatan yang muncul dari lingkar paling dekat, mengangkat fenomena yang kerap terjadi di kalangan anak muda dan pasangan pengantin baru masa kini, ketika sosok “teman” justru menjadi ancaman dalam rumah tangga.
Trailer “Musuh Dalam Selimut” memperlihatkan Gadis (Yasmin Napper) dan Andika (Arbani Yasiz) yang sedang membangun rumah tangga dengan rasa percaya yang tampak kokoh di awal. Namun kedekatan pertemanan yang masuk ke wilayah personal perlahan menggeser batas, terutama ketika Suzy (Megan Domani) semakin sering berada di pusat kehidupan mereka.
Hadrah Daeng Ratu menegaskan bahwa “Musuh Dalam Selimut” tidak berdiri sebagai kisah cinta segitiga konvensional. Menurutnya, penguatan latar karakter dan storytelling tiap tokoh menjadi kunci agar penonton memahami alasan di balik keputusan yang diambil setiap karakter.
“Background karakter yang kuat di “Musuh Dalam Selimut” menjadi penting agar penonton tahu alasan yang dilakukan oleh mereka. Kisah perselingkuhan bukan hanya sekadar cinta segitiga biasa, tapi menceritakan trauma-trauma yang dihadapi karakter dalam menjalani hidupnya setelah melewati banyak luka,” ujar Hadrah.
Ia menjelaskan, konflik inti film ini dibangun secara bertahap melalui kedekatan pertemanan yang terasa wajar terlebih dahulu. Dari sana, hubungan itu perlahan masuk ke dalam circle kehidupan tokoh utama, menanamkan berbagai informasi yang memantik kecurigaan hingga mendorong pencarian bukti tentang pengkhianatan yang terjadi.
“Dimulai dari membangun hubungan yang akrab dulu dari sebuah pertemanan, pelan-pelan sahabat itu masuk ke dalam circle kehidupan tokoh utama, membangun banyak planting informasi kecurigaan yang mengarah pada pencarian bukti kebenaran,” katanya.
Hadrah menambahkan, pada akhirnya penonton akan dibawa pada kejelasan posisi konflik, termasuk siapa yang protagonis dan siapa yang antagonis di penghujung cerita.
Poster resmi yang dirilis bersamaan dengan trailer mempertegas nuansa intim sekaligus mencekam, mengisyaratkan bahwa ancaman terbesar tidak selalu datang dari luar, melainkan bisa bersembunyi di balik kehangatan relasi yang selama ini dipercaya.
Dengan tensi psikologis dan emosi yang dibangun perlahan, Musuh Dalam Selimut menawarkan pengalaman menonton yang lebih berlapis tentang cinta, loyalitas, luka, dan batas pertemanan yang bisa berubah menjadi bencana.
Film “Musuh Dalam Selimut” ini akan tayang di bioskop mulai 8 Januari 2026.