Connect with us

iMusic

“Delika” Rilis Tiga Single dengan Konsep Music Series “Rasa Jakarta”, “Penebusan”, dan “Sebuah Temu”.

Published

on

iMusic – Sebagai band, Delika memiliki komitmen kuat untuk tetap berkarya meski dalam kondisi sulit. Terbentuk di Jakarta pada 2018, band beranggotakan enam orang ini telah merilis single Tegar Bersandar (2018) dan Racau (2019) di bawah label Universal Music Indonesia.

Sebagai pendatang baru di industri musik, hasrat Delika menggebu untuk menghibur masyarakat Indonesia. Sayangnya, kondisi pandemi COVID-19 di sepanjang 2020 membuat mereka harus menunda semua rencana yang telah tersusun rapi.

Namun tahun telah berganti. Lembaran baru Delika sudah dimulai. Sebuah kejutan besar telah mereka persiapkan untuk Delikuy (sebutan penggemar Delika). Irfan (vocal), Rainy (vocal), Lucita (vocal), Bagus (gitar), Adit (keyboardis), dan Fauzan (drum) merilis single baru. Tidak hanya satu, tapi tiga!

Mereka mengusung konsep baru. Ketiga single tersebut dirilis dalam waktu berdekatan. Rasa Jakarta dirilis pada 19 Februari 2021, Penebusan akan dirilis pada 5 Maret 2021, lalu Sebuah Temu bakal dirilis 19 Maret 2021.

Bukan tanpa alasan ketiga single tersebut dirilis dalam waktu berdekatan. Rasa Jakarta, Penebusan, dan Sebuah Temu adalah cerita yang bersambung. Semakin istimewa karena ketiga single tersebut dirangkai menjadi sebuah cerita yang dikisahkan melalui sosok bernama Arkan, Kina, dan Juni dalam klip video yang dirilis pada tanggal yang sama di channel YouTube Delika Official. Delika mengemas tiga klip video tersebut seperti episode sebuah miniseri.

Rainy Renata (vokalis) menjelaskan meski tiga single baru ini ceritanya bersambung, namun temanya berbeda. ’’Ada yang cerita lagunya tentang Jakarta, pelajaran hidup, dan romansa.  Tema besarnya adalah self actualization. Perjalanan yang membawa seseorang menjadi lebih dewasa,’’ tuturnya.

Konsep baru dalam bentuk music series tersebut diinisiasi oleh Delika pada Oktober 2020 lalu. Tepatnya ketika mereka mengikuti kompetisi Levi’s Band Hunt 2020. Kompetisi tersebut mencari band yang memiliki business plan terbaik. Delika terpilih sebagai pemenangnya.

Kemenangan itu menjadi langkah baru band ini. Apalagi sekarang Delika memilih indie. Rencana bisnis tersebut kemudian diwujudkan bersama. Ini kali pertama mereka mengerjakan semuanya sendiri. Mulai menggodok konsep hingga proses produksi. Mulai rekaman sampai pembuatan klip video.

Lucita Spica (vokalis) mengungkapkan, inilah saat yang Delika nantikan. ‘’Ini turning point buat Delika. Kami mengetahui semua prosesnya. Dari hulu sampai hilir. Proyek ini tereksekusi dengan maksimal,’’ ucapnya.

Bagus Pandu (gitaris) mengatakan melalui proyek perilisan tiga single sekaligus ini, Delika merasakan kebebasan berekspresi. ‘’Di sini Delika bisa menentukan arah. Semua yang telah kami kerjakan dan curahkan di tiga lagu ini, ya, itulah Delika. Semoga ketulusan kami dapat dirasakan oleh penikmat musik Indonesia,’’ katanya. Bagus juga merupakan pencipta lagu Rasa Jakarta dan Sebuah Temu.

Merilis lagu di tengah pandemi juga menjadi pengalaman tersendiri buat mereka. Rekaman dilakukan dari rumah masing-masing. Tidak memungkinkan bagi mereka untuk melakukan rekaman bersama-sama di studio.

Irfan Lukum (vokalis) menceritakan bahwa proses rekaman jarak jauh tidak terlampau sulit buat Delika. ’’Chemistry kami sudah dapat banget. Memang rekaman dari rumah itu menantang, tapi proses ini juga seru dan memorable banget,’’ jelasnya.

Semakin seru karena pembuatan tiga klip video single terbaru ini ditangani oleh sutradara Faza Meonk.  ’’Buat saya, proyek ini menarik. Kami ditantang untuk menyambungkan cerita dari tiga musik, yang mungkin awalnya tidak berhubungan. Selain itu, mengemas cerita yang sudah terkonsep dan menuangkannya dalam format music video yang lebih simbolik, juga hal yang baru buat saya,’’ ungkapnya.

Faza adalah kreator komik Si Juki. Dia juga meraih penghargaan Piala Citra 2018 kategori Film Animasi Pendek Terbaik (Si Juki The Movie) dan Piala Maya 2019 kategori Film Animasi Panjang Terpilih.

Delika adalah band yang dibentuk pada Januari 2018 di Jakarta. Anggotanya adalah Irfan (vokal, Rainy (vokal), Lucita (vokal), Bagus (gitar), Adit (keyboard) dan Fauzan (drum). Aliran musik yang diusung oleh Delika adalah pop yang dikombinasikan dengan folk dan psychedelic. Pada 2018, Delika memenangkan kompetisi Levi’s Band Hunt dan mendapatkan kontrak rekaman dengan Universal Music Indonesia. Delika juga menjadi brand ambassador Levi’s. Lalu pada 2020, Delika kembali memenangkan kompetisi yang sama. Namun, konsep kompetisinya berbeda. Kompetisi tersebut mencari band yang memiliki business plan terbaik.  (FE)

iMusic

Tiara Andini eksplorasi berbagai lokasi di Singapura untuk video musik “Cinta Seperti Aku”

Published

on

iMusic.id – Setelah merilis albumstudio kedua yang bertajuk “Edelweiss” pada 17 Oktober 2025 lalu, Tiara Andini perkenalkan video musik single “Cinta Seperti Aku” yang merupakansalah satu single dari delapan lagu yang berada di track list album “Edelweiss” tersebut.

Video musik “Cinta Seperti Aku” menampilkan kedalaman emosi dan kedewasaan Tiara Andini dengan latar keindahan lanskap Singapura yang beragam. Lagu ini juga mendapat apresiasi atas liriknya yang menyentuh dan jujur, dipadukan dengan tempo yang santai serta penyampaian yang ekspresif. Sekali lagi, Tiara berhasil mencuri hati para pendengar lewat suara khasnya.

Dalam video musik terbarunya ini Tiara Andini berkolaborasi dengan Singapore Tourism Board yang memvisualisasikan perjalanan Tiara Andini melalui fase patah hati, refleksi, hingga ‘kelahiran kembali’ lewat lanskap ikonik Singapura sebagai cerminan tahapan emosi dalam cinta dan penyembuhan. Melalui kerja sama ini, diharapkan dapat menginspirasi audiens di Indonesia untuk menemukan momen inspiratif mereka sendiri di berbagai sudut Singapura yang berkesan.

Mohamed Hafez Marican, Area Director Singapore Tourism Board Indonesia, mengatakan:
“Kami senang dapat berkolaborasi dengan Tiara Andini untuk menampilkan Singapura melalui video musiknya. Beragam Lokasi mulai dari area tepi perairan hingga atraksi alam menunjukkan tata kota Singapura yang ringkas, di mana beragam pengalaman dapat dijangkau dengan mudah. Lokasi-lokasi ini menggambarkan bagaimana setiap momen di Singapura selalu dekat dan mudah diakses, sehingga pengunjung dapat menciptakan kenangan bermakna dengan effortless.”

Video musik ini mengambil latar di berbagai lokasi di Singapura, termasuk Marina Barrage, Punggol Waterway, Bird Paradise di Mandai Wildlife Reserve, dan Sentosa Sensoryscape. Setiap lokasi menghadirkan karakter yang berbeda mulai dari pemandangan cakrawala terbuka, ruang hijau yang asri, hingga habitat alami yang kaya menciptakan suasana tenang dan imersif yang memperkuat narasi emosional dan reflektif. Dalam potongan behind-the-scenes, Tiara Andini juga membagikan cerita tentang pengalamannya yang singkat namun berkesan selama berada di Singapura, termasuk momen di SkyHelix Sentosa, Asian Civilisations Museum, serta lokasi-lokasi syuting lainnya.

Tiara turut membagikan antusiasmenya saat melakukan syuting di Singapura dan menemukan sisi-sisi baru Singapura yang belum pernah ia lihat sebelumnya,

“Aku senang banget bisa syuting di sini dan aku baru tahu ternyata di Singapura bisa lihat flamingo dari jarak dekat! Beneran dekat. Seru banget,” ujar Tiara.

Sejak perilisan album terbarunya Edelweiss, “Cinta Seperti Aku menjadi salah satu lagu favorit penggemar berkat nuansanya yang easy listening, melodi yang catchy, serta lirik yang relatable. Lagu ini menggambarkan perasaan seseorang yang terluka dan menyampaikan satu permohonan terakhir agar pasangannya mau berubah.

Untuk semakin mendekatkan diri dengan para penggemar setianya di Indonesia, Tiara Andini juga membagikan hadiah pilihan pribadi dari lokasi-lokasi berkesan di Singapura. Para penggemar dapat ikut serta untuk berkesempatan memenangkan item spesial tersebut, yang masing-masing dipilih langsung oleh Tiara Andini dan ditampilkan dalam video behind-the-scenes miliknya.

Continue Reading

iMusic

Perjalanan panjang Edi Kemput di industri musik Indonesia

Published

on

iMusic.id – Di tengah industri musik yang kerap terjebak pada romantisme panggung dan glorifikasi popularitas, Gitaris rock papan atas Indonesia Triwitarto Edi Purnomo atau Edi Kemput hadir sebagai figur yang melampaui batas estetika bunyi.

Edi Kemput yang adalah juga gitaris dari Grassrock ini memaknai musik bukan sekadar ekspresi seni, tetapi sebagai wadah kepedulian, ruang refleksi, dan tanggung jawab moral seorang seniman terhadap sesama dan negaranya.

Lahir di Samarinda, 10 April 1966, Edi Kemput tumbuh bersama denyut perubahan musik Indonesia sejak awal 1980-an. Perjalanan musikalnya dimulai sejak SMP kelas 2, ketika musik masih ia dekati secara polos dan jujur.

“Lagu pertama yang saya mainkan itu lagu anak-anak ‘Naik-Naik ke Puncak Gunung’,” kenang Edi Kemput sambil tersenyum saat di wawancarai wartawan (27/12/2025).

Dari situ, jari-jarinya mulai akrab dengan Akor, hingga suatu hari memainkan lagu ciptaan Rinto Harahap yang dipopulerkan Hetty Koes Endang, fase awal yang perlahan menuntunnya ke dunia musik yang lebih kompleks.

Memasuki SMA Negeri 2 Surabaya, Edi mulai bersentuhan dengan musik instrumen yang kala itu menjadi tren di kalangan pelajar musik.

Sosok Bujana dan band Squirrel menjadi referensi kuat. Bersama rekan-rekannya, ia memainkan karya-karya Indra Lesmana, Alfonso Mouzon, hingga Casiopea.

“Kalau dibilang jazz terlalu luas. Kami menyebutnya lagu-lagu instrumen,” ujar Edi Kemput.

Selepas SMA, Edi sempat menempuh pendidikan di Universitas Dr. Soetomo (Unitomo), Surabaya, jurusan Ilmu Komunikasi (Jurnalistik).

Namun dunia kampus tak mampu menahan lajunya di musik. Ia tidak menyelesaikan studi—karena pada saat yang sama, pintu industri musik mulai terbuka.

Titik balik datang pada 1984, saat Edi bergabung dengan Grass Rock, band yang kemudian menjelma menjadi salah satu ikon rock Indonesia.

Nama “Grass Rock” menyimpan filosofi tersendiri: grass dimaknai sebagai sesuatu yang tumbuh di mana saja—harapan agar musik mereka dapat diterima lintas lapisan sosial.

Mereka mencatat prestasi penting di Festival Log Zelebour, Festival KMSS Jakarta, hingga akhirnya meraih Juara 1 Log Zelebour 1986.

Prestasi individual pun mengiringi :

Edi Kemput – The Best Guitarist (1985 dan 1987)

Rere – The Best Drummer (beberapa tahun berturut-turut)

Mandau – The Best Keyboardist

Puncaknya, Grass Rock dipercaya menjadi band pembuka tur God Bless di 10 kota Indonesia, sebuah legitimasi tak tertulis bahwa mereka telah masuk jajaran elite rock nasional.

Grass Rock merilis lima album dan dua single. Album debut mereka “Peterson (Anak Rembulan)” diproduksi oleh Ian Antono di bawah label Atlantic Records.

Lagu-lagu ciptaan Edi Kemput seperti “Peterson (Anak Rembulan)”, Prasangka”, dan “Bersamamu” menjadi penanda identitas musikal band : melodis, progresif, dan sarat emosi.

Lagu “Bersamamu” diciptakan bersama almarhum Dayan Zmach, sementara “Peterson” menjelma menjadi lagu lintas generasi yang berkali-kali dire-master.

Pada masanya, Grass Rock berdiri sejajar dengan nama-nama besar seperti God Bless, SAS, Makara, Elpamas, dan AKA.

Ia dikenal sebagai gitaris yang diperhitungkan dan kerap menjadi additional player lintas genre, terlibat dalam berbagai proyek besar bersama: Erwin Gutawa Orchestra, Aminoto Kosim Orchestra, Adi MS – Twilite Orchestra, Andi Rianto – Magenta Orchestra, Chrisye, Krisdayanti, Titik DJ, Ruth Sahanaya, Ari Lasso, hingga Iwan Fals & Iwang Noorsaid Band.

Kolaborasinya bersama Iwan Fals dalam album “Orang Gila” menunjukkan fleksibilitas musikal Edi dari rock keras hingga pop progresif kontemporer.

“Yang paling mempengaruhi saya itu Erwin Gutawa. Dia membuka cara pandang bermusik yang lebih luas,” tuturnya.

Namun hidup Edi Kemput tidak berhenti pada panggung dan tepuk tangan. Di balik citra rocker yang kerap dilekatkan pada alkohol, narkoba, dan gaya hidup hedonis ia mengalami titik jenuh. Tahun 2003 menjadi momentum perubahan.

“Capek.. Jiwa capek,” katanya singkat.

Latar keluarga religious ibunya yang aktif dalam kegiatan Nahdlatul Ulama menjadi jangkar yang menahannya dari kehancuran total.

Pernikahan dan kehadiran keluarga menjadi cermin. Perlahan, Edi meninggalkan dunia gelap. Ia berhijrah.

Transformasi itu tidak berhenti pada diri sendiri. Edi kini aktif berbagi ke lapas, komunitas punk, dan kelompok masyarakat yang termarjinalkan. Ia tidak menggurui. Ia berbagi pengalaman hidup.

“Bukan tausiah, tapi sharing,” ujarnya merendah.

Ia terlibat dalam berbagai kegiatan sosial-keagamaan, termasuk “Hijrah Fest Palu 2018”, serta kajian musisi hijrah di berbagai masjid.

Baginya, musik dan iman tidak harus saling meniadakan. Musik, Kepedulian, dan Keikhlasan untuk Sesama

Dalam berbagai momentum solidaritas—termasuk kepedulian untuk saudara-saudara di Sumatera yang tertimpa musibah Edi menegaskan bahwa musik seharusnya hadir sebagai jembatan empati, bukan sekadar seremoni.

“Yang paling penting bukan seberapa besar nilainya, tapi seberapa ikhlas kita berbagi. Di mata Allah, keikhlasan jauh lebih berharga daripada angka,” ujarnya.

Baginya, musik yang dipersembahkan dengan niat tulus untuk meringankan beban sesama adalah bentuk ibadah sosial. Ia menolak menjadikan penderitaan orang lain sebagai alat pencitraan atau kepentingan kelompok.

Edi Kemput juga menyampaikan kritik terbuka kepada pemerintah sebagai pengelola negara. Menurutnya, bencana yang berulang tidak selalu murni kehendak alam, tetapi sering kali lahir dari ketidakjujuran, kelalaian, dan pengelolaan yang tidak amanah.

“Pemimpin harus jujur dan amanah. Kalau tidak, yang selalu menjadi korban adalah rakyat,” tegasnya. Jabatan, bagi Edi, adalah titipan yang kelak harus dipertanggungjawabkan, bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kepada Tuhan.

Kini, di usia hampir 60 tahun, Edi Kemput masih memainkan gitar. Namun distorsi itu kini berpadu dengan kesadaran, empati, dan tanggung jawab sosial.

Di tengah negeri yang terus diuji oleh bencana dan krisis kepercayaan, suara Edi Kemput menjadi pengingat bahwa musik, iman, dan keberpihakan pada kemanusiaan seharusnya berjalan seir ingbukan sebagai topeng, melainkan sebagai komitmen hidup.

“Sebagai musisi atau seniman sebaiknya kita jangan hanya berteriak pada kepentingan golongan atau komunitas saja. Memiliki empati juga harusnya luas karena kita punya hati nurani sebagai manusia untuk berbagi pada segala hal, ” tutup Edi Kemput.

Penulis : Beng Aryanto

Continue Reading

iMusic

Patrick Lesmana tawarkan komposisi apik di single kedua bertajuk “Yabai”

Published

on

iMusic.id – Sempat setahun hiatus, solois gitar ‘Patrick Lesmana’ kembali memperkenalkan karya musik keduanya yang berjudul “Yabai”. Dalam bahasa Jepang, “Yabai” mengandung arti tentang sesuatu yang ‘berbahaya, gila’ dan bahkan ‘keren’ tergantung konteksnya, gitaris muda asal Malang, Jawa Timur tersebut mengungkapkan keunikan kata ‘Yabai’ tersebut sebagai konsep dari komposisi musik yang dia tulis.

“Yabai” merepresentasikan sisi spontan, eksperimental dan energi tak terduga dalam musik yang saya tulis. Saya memilih konsep Jepang karena saya sangat terinspirasi oleh kultur dan estetika mereka dari anime, seni visual, sampai cara musisi fusion Jepang seperti Casiopea, T-Square, dan Dezolve membentuk sound yang khas tapi tetap “tightt” dan teknikal”, terang Patrick Lesmana tentang single keduanya tersebut.

Tumbuh dewasa dengan mendengarkan dan terpengaruh oleh musik Progessive-Rock/Jazz-Rock medio 60-80an seperti King Crimson, Frank Zappa, Yes, Genesis, Weed, Kansas, I.O.U (Allan holdsworth) dan lainnya, Patrick Lesmana tertarik untuk menggabungkan musik – musik prog-rock diatas dengan elemen musik Jazz-Fusion dan musik – musik game Jepang ke single “Yabai” tersebut.

“Yabai” adalah judul EP saya yang sudah rilis di tahun 2023 lalu dan di dalam mini album saya tersebut juga ada lagu yang berjudul “Yabai” yang saya perkenalkan sebagai single ke 2 setelah “Paradise Of Inner Fire”. Kalau disimak secara keseluruhan, EP saya itu tidak berusaha menampilkan gitar sebagai instrumen utamanya melainkan semua instrumen bermain dengan porsi yang sama. Dalam hal ini, komposisi adalah yang saya coba tonjolkan dalam lagu – lagu di dalam EP tersebut termasuk “Yabai”,tandas Patrick Lesmana.

“Secara komposisi, “Yabai” menggabungkan elemen progressive rock, jazz fusion, dan nuansa Japanese contemporary fusion. Ada banyak permainan time signature, harmoni kompleks, dan improvisasi yang tetap punya alur emosional”, jelas Patrick lagi.

Dalam proses produksi single “Yabai”, gitaris yang sangat menggemari gitaris – gitaris dunia seperti Allan Holdsworth, Al di meola, Eric johnson, Ritchie blackmore dan lain – lain ini mengaku tidak menemui kendala yang berarti. Proses rekaman yang dilakukan di studio pribadinya “Suara Wibu Production” ini terbilang lancar.

“Tantangan terbesarnya justru menjaga keseimbangan antara teknikalitas dan feel, karena di genre seperti progressive fusion, mudah sekali terjebak dalam permainan rumit tapi kehilangan rasa”, terang Patrick.

Sementara itu, Fransiscus Eko dari Cadaazz Pustaka Musik yang berperan sebagai co-producer mengaku cukup lega bisa merilis lagu “Yabai” ini sebagai single kedua Patrick Lesmana.

“Patrick ini sibuk banget, proyek musiknya banyak dan dia juga ikut bergabung dengan beberapa band berbeda genre di Malang. Bisa merilis single kedua ini sudah membuat saya cukup lega. Yang masih nge-ganjel adalah video musik nya belum sempat di buat karena Patrick sendiri masih belum punya waktu luang ke Jakarta”, terang Fransiscus Eko.

Setelah merilis single “Yabai” ini, Patrick Lesmana berencana menampilkan komposisi musik dengan genre yang berbeda pada karya EP berikutnya,

“Saya tidak ingin terpatok satu genre saja, saya ingin menjadikan karya – karya solo saya sebagai sebuah kolase untuk menunjukan banyaknya repetoar yang saya dengarkan sehari – hari dan tidak berhenti di satu genre saja”, ujar Patrick.

Single dan EP “Yabai” karya Patrick Lesmana sudan bisa di simak diseluruh Digital Store Platform serta seluruh media sosial seperti Instagram feed dan story, Tiktok, Facebook dan lain – lain, sementara itu video visualizer nya bisa di tonton di Cadaazz Pustaka Musik Official Youtube Channel.

Credit Title

Single : Yabai

Artis : Patrick Lesmana

Song : Patrick Lesmana

Production by Cadaazz Pustaka Musik & Patrick Lesmana

Executive Producer : Patrick Lesmana

Producer : Patrick Lesmana

Co Producer : Fransiscus Eko & Christian Wibisono

Music Recorded at Suara Wibu Production Studio by Patrick Lesmana

Guitar. Bass, Keys, Drums played & recorded by Patrick Lesmana

Mixing by Bayu Randu at Musicblast / Greenland Studio

Mastering by Bayu Randu at Musicblast / Greenland Studio

Patrick Lesmana Artist Management & Contact Person : Fransiscus Eko (081277666468)

Artwork by Christian Wibisono

Media Relation : Eny Handayani (0812-9776-547)

Continue Reading