iMusic
Di Hari Kartini, Fransiscus Eko luncurkan single “Evolusi”
Published
8 months agoon
By
Frans EkoiMusic.id – Fransiscus Eko (FE) yang saat ini lebih dikenal sebagai jurnalis, produser dan juga manager artis dari Sigit Wardana, Rocker Kasarunk, Genta Garby, Yure Andini, Gracia Says dan lain – lain tepat pada 21 April 2025 merilis single bertajuk “Evolusi”.

Lagu berirama rock / metal ini mungkin lebih tepat sebagai salah satu karya lama yang telah ia rawat cukup lama. Lagu ini telah ditulis oleh musisi asal Jakarta yang pernah kenyang menjadi roadman beberapa band seperti, Betrayer, Bandroll, Silverquint, Alakazam dan banyak lagi sejak kurang lebih 25 tahun lalu, karena lagu aslinya sudah ada sejak tahun 2000. Lagu “Evolusi” ini adalah lagu yang terbuang dari materi lagu untuk album bandnya terdahulu, Drama.
“Baru dirilis tahun ini karena tadinya lagu ini ditulis di tahun 2000 cuma buat koleksi aja, memang nggak ada niat buat dirilis karena nggak sesuai sama konsep musik band gw (Drama) saat itu. Lagu ini gw tulis bareng sahabat gw, namanya Petrus, gw nyebutnya Petrus Arema karena dia berasal dari kota Malang. Dia jago soal elektronik, Petrus tinggal di studio gw bantu-bantu band gw (Drama) saat itu. Dia itu pemain bass dan gitar, genre nya metal seperti death metal, grindcore dan sejenisnya. Dia juga pernah jadi bassis di grup rock legend kota Malang yaitu Balance, pasca band Finalis Festival Rock besutan Log Zhelebour tersebut merilis single di album Kompilasi 10 Finalis Festival Rock Se-Indonesia ke 6 di tahun 1991”, terang Eko, panggilan akrabnya.

Single bertempo cepat dibalut alunan vokal yang cenderung scream dan growl ini bercerita tentang kerakusan manusia yang semakin parah. Menurut Eko, kalau membaca teori evolusinya Charles Darwin, yaitu perubahan kera menjadi sosok manusia, manusia semestinya tumbuh dan berkembang lebih baik. Namun yang dirasanya saat ini malah rata-rata mundur.
“Gw berpikir seharusnya sesuai dengan teori Darwin bahwa evolusi manusia itu awalnya dari Kera berubah jadi manusia, dari buruk menjadi baik, tapi yang terjadi malah sebaliknya, yang gw rasa kok malah manusia berbalik menjadi kera? Manusia semakin hari malah semakin rakus, semakin jahat dan semakin jauh dari nilai nilai kemanusiaan, yang berkuasa makin ingin mempertahankan kekuasaannya dan tidak ragu menginjak yang lemah. Jadi lagu ini bercerita tentang Evolusi manusia yang terbalik. Nggak sesuai teori Darwin,” terangnya.
Single “Evolusi” dirilis di bawah label Cadaazz Pustaka Musik, single ini dirilis sekarang karena di rasa temanya masih relate dengan situasi dunia saat ini. Lagu ini juga ia persembahkan kepada sahabatnya Petrus yang sudah meninggal dunia, saat pembuatan lagu ini Petrus masih terlibat secara teknis sebagai pencipta riff gitarnya.

“Ada waktu senggang saat itu, gw sama dia sepakat nulis lagu “Evolusi” di home studio gw, awalnya dia bikin riff gitarnya lalu gw rangkai notasi bait, reff serta liriknya dan jadilah lagu Evolusi seperti itu,” papar Eko.
Musisi yang terlibat dalam proses kreatif Evolusi selain Fransiscus Eko (vokal, gitar) dan Petrus (gitar, bass), juga dibantu oleh pemain Christian Wibisono (dram) yang saat itu masih tergabung dalam band Drama, sedangkan sejak tahun 2010 Christian yang akrab disapa Ian tercatat sebagai dramer di band besutan Ferdy Tahier, Rocker Kasarunk. Selain mengisi dram dan growl, Ian juga menggarap proses mixing, mastering sampai mendesain artwork single “Evolusi” ini.
Kedepannya Fransiscus Eko berencana untuk merilis EP atau LP dengan genre modern rock dan lagu “Evolusi” ini kemungkinan akan jadi sebagai bonus track saja.

“Untuk merealisasikan EP atau LP gw lagi coba upayakan deh, karena gw masih coba hubungi eks member2x Drama Band yang dulu pernah sama sama nge band ama gw seperti Coki Bolemeyer (NTRL), Siapa tahu masih ada chemistry ama gw, apalagi gw ada lagu yang gw tulis bareng Coki juga. Karena pada dasarnya gw memang suka situasi nge band. Atau bisa juga menggunakan jasa anak gw Patrick Lesmana yang pernah rilis album instrumental gitar bertajuk “Yabai” di 2022 lalu untuk main gitar di lagu – lagu gw. Ngirit biaya khan!? Haha..”, tutup Fransiscus Eko.
You may like
-
Patrick Lesmana tawarkan komposisi apik di single kedua bertajuk “Yabai”
-
Gigs regular perdana “Buitenstage” tampilkan Rocker Kasarunk, Sigit Wardana, Jeans Roek hingga Billkiss.
-
Rilis single “Aku Sedang Tak Percaya Diri”, Rocker Kasarunk main musik pop progresif
-
Sigit Wardana rasakan perih di single “Luka Tak Berdarah”
-
Thito Tangguh semakin tangguh di EP “Tetap Tangguh”
-
Indohits Gigs #2 hari ini tampilkan rocker – rocker senior tanah air
-
Tampilkan “Element, Nineball dan Emma Elliot”, “Sound State” sukses di gigs perdana.
-
Band asal Bogor, Billkiss siap meluncurkan album penuh
-
Sukses gelaran perdananya, INDOHITS GIGS akan buka kesempatan buat band – band indie unjuk gigi
-
Tak kehabisan energi, Ferdy Tahier luncurkan proyek solo di single “Cintaku Tak Ada Yang Punya”
iMusic
Band Bandung, Rutinitas Pagi remake lagu hits T-Five bertajuk “Kau”
Published
11 hours agoon
December 30, 2025By
Frans Eko
iMusic.id – Band ‘Rutinitas Pagi’ resmi meremaster lagu legendaris “Kau”, karya Yerri Meiryan yang dipopulerkan oleh T-Five. Dalam versi terbarunya, ‘Rutinitas Pagi’ menghadirkan warna musik yang lebih chill, dan fresh, tanpa menghilangkan nuansa romantis yang menjadi ciri khas lagu tersebut.

Proses re-master dan re-interpretasi ini dilakukan dengan penuh kehati-hatian. ‘Rutinitas Pagi’ ingin menjaga kehangatan dan kesederhanaan notasi asli, namun memberikan sentuhan baru melalui produksi yang lebih halus, harmoni minimalis, serta groove santai yang menjadi identitas musik mereka.
“Kami tumbuh bersama lagu-lagu T-Five, dan ‘Kau’ adalah salah satu lagu yang paling membekas. Lewat versi ini, kami ingin memberi penghormatan dan juga memperkenalkan lagu ini kepada generasi baru,” ujar ‘Rutinitas Pagi’ dalam pernyataan resmi.
Aransemen terbaru dari ‘Rutinitas Pagi’ ini memperkuat sisi emosional lagu dengan penggunaan gitar clean bernuansa smooth, synth pad lembut, serta beat yang laid-back. Semua elemen tersebut berpadu menciptakan suasana yang lebih intim, cocok untuk menemani aktifitas para pendengarnya.

Versi remaster “Kau” dari ‘Rutinitas Pagi’ sudah tersedia di seluruh platform musik digital mulai minggu ini.
Tentang Rutinitas Pagi
Rutinitas Pagi adalah band pop modern yang dikenal dengan karakter musik ringan, hangat, dan mudah dinikmati. Mereka menggabungkan unsur pop, R&B, yang menjadi identitas khas dalam setiap rilisan mereka sehingga terdengar easy listening dan relate untuk para pendengarnya.
iMusic
Tiara Andini eksplorasi berbagai lokasi di Singapura untuk video musik “Cinta Seperti Aku”
Published
1 day agoon
December 29, 2025By
Frans Eko
iMusic.id – Setelah merilis albumstudio kedua yang bertajuk “Edelweiss” pada 17 Oktober 2025 lalu, Tiara Andini perkenalkan video musik single “Cinta Seperti Aku” yang merupakansalah satu single dari delapan lagu yang berada di track list album “Edelweiss” tersebut.

Video musik “Cinta Seperti Aku” menampilkan kedalaman emosi dan kedewasaan Tiara Andini dengan latar keindahan lanskap Singapura yang beragam. Lagu ini juga mendapat apresiasi atas liriknya yang menyentuh dan jujur, dipadukan dengan tempo yang santai serta penyampaian yang ekspresif. Sekali lagi, Tiara berhasil mencuri hati para pendengar lewat suara khasnya.
Dalam video musik terbarunya ini Tiara Andini berkolaborasi dengan Singapore Tourism Board yang memvisualisasikan perjalanan Tiara Andini melalui fase patah hati, refleksi, hingga ‘kelahiran kembali’ lewat lanskap ikonik Singapura sebagai cerminan tahapan emosi dalam cinta dan penyembuhan. Melalui kerja sama ini, diharapkan dapat menginspirasi audiens di Indonesia untuk menemukan momen inspiratif mereka sendiri di berbagai sudut Singapura yang berkesan.

Mohamed Hafez Marican, Area Director Singapore Tourism Board Indonesia, mengatakan:
“Kami senang dapat berkolaborasi dengan Tiara Andini untuk menampilkan Singapura melalui video musiknya. Beragam Lokasi mulai dari area tepi perairan hingga atraksi alam menunjukkan tata kota Singapura yang ringkas, di mana beragam pengalaman dapat dijangkau dengan mudah. Lokasi-lokasi ini menggambarkan bagaimana setiap momen di Singapura selalu dekat dan mudah diakses, sehingga pengunjung dapat menciptakan kenangan bermakna dengan effortless.”
Video musik ini mengambil latar di berbagai lokasi di Singapura, termasuk Marina Barrage, Punggol Waterway, Bird Paradise di Mandai Wildlife Reserve, dan Sentosa Sensoryscape. Setiap lokasi menghadirkan karakter yang berbeda mulai dari pemandangan cakrawala terbuka, ruang hijau yang asri, hingga habitat alami yang kaya menciptakan suasana tenang dan imersif yang memperkuat narasi emosional dan reflektif. Dalam potongan behind-the-scenes, Tiara Andini juga membagikan cerita tentang pengalamannya yang singkat namun berkesan selama berada di Singapura, termasuk momen di SkyHelix Sentosa, Asian Civilisations Museum, serta lokasi-lokasi syuting lainnya.

Tiara turut membagikan antusiasmenya saat melakukan syuting di Singapura dan menemukan sisi-sisi baru Singapura yang belum pernah ia lihat sebelumnya,
“Aku senang banget bisa syuting di sini dan aku baru tahu ternyata di Singapura bisa lihat flamingo dari jarak dekat! Beneran dekat. Seru banget,” ujar Tiara.
Sejak perilisan album terbarunya Edelweiss, “Cinta Seperti Aku” menjadi salah satu lagu favorit penggemar berkat nuansanya yang easy listening, melodi yang catchy, serta lirik yang relatable. Lagu ini menggambarkan perasaan seseorang yang terluka dan menyampaikan satu permohonan terakhir agar pasangannya mau berubah.

Untuk semakin mendekatkan diri dengan para penggemar setianya di Indonesia, Tiara Andini juga membagikan hadiah pilihan pribadi dari lokasi-lokasi berkesan di Singapura. Para penggemar dapat ikut serta untuk berkesempatan memenangkan item spesial tersebut, yang masing-masing dipilih langsung oleh Tiara Andini dan ditampilkan dalam video behind-the-scenes miliknya.
iMusic
Perjalanan panjang Edi Kemput di industri musik Indonesia
Published
2 days agoon
December 28, 2025By
Frans Eko
iMusic.id – Di tengah industri musik yang kerap terjebak pada romantisme panggung dan glorifikasi popularitas, Gitaris rock papan atas Indonesia Triwitarto Edi Purnomo atau Edi Kemput hadir sebagai figur yang melampaui batas estetika bunyi.

Edi Kemput yang adalah juga gitaris dari Grassrock ini memaknai musik bukan sekadar ekspresi seni, tetapi sebagai wadah kepedulian, ruang refleksi, dan tanggung jawab moral seorang seniman terhadap sesama dan negaranya.
Lahir di Samarinda, 10 April 1966, Edi Kemput tumbuh bersama denyut perubahan musik Indonesia sejak awal 1980-an. Perjalanan musikalnya dimulai sejak SMP kelas 2, ketika musik masih ia dekati secara polos dan jujur.
“Lagu pertama yang saya mainkan itu lagu anak-anak ‘Naik-Naik ke Puncak Gunung’,” kenang Edi Kemput sambil tersenyum saat di wawancarai wartawan (27/12/2025).
Dari situ, jari-jarinya mulai akrab dengan Akor, hingga suatu hari memainkan lagu ciptaan Rinto Harahap yang dipopulerkan Hetty Koes Endang, fase awal yang perlahan menuntunnya ke dunia musik yang lebih kompleks.
Memasuki SMA Negeri 2 Surabaya, Edi mulai bersentuhan dengan musik instrumen yang kala itu menjadi tren di kalangan pelajar musik.
Sosok Bujana dan band Squirrel menjadi referensi kuat. Bersama rekan-rekannya, ia memainkan karya-karya Indra Lesmana, Alfonso Mouzon, hingga Casiopea.
“Kalau dibilang jazz terlalu luas. Kami menyebutnya lagu-lagu instrumen,” ujar Edi Kemput.
Selepas SMA, Edi sempat menempuh pendidikan di Universitas Dr. Soetomo (Unitomo), Surabaya, jurusan Ilmu Komunikasi (Jurnalistik).
Namun dunia kampus tak mampu menahan lajunya di musik. Ia tidak menyelesaikan studi—karena pada saat yang sama, pintu industri musik mulai terbuka.
Titik balik datang pada 1984, saat Edi bergabung dengan Grass Rock, band yang kemudian menjelma menjadi salah satu ikon rock Indonesia.
Nama “Grass Rock” menyimpan filosofi tersendiri: grass dimaknai sebagai sesuatu yang tumbuh di mana saja—harapan agar musik mereka dapat diterima lintas lapisan sosial.
Mereka mencatat prestasi penting di Festival Log Zelebour, Festival KMSS Jakarta, hingga akhirnya meraih Juara 1 Log Zelebour 1986.
Prestasi individual pun mengiringi :
Edi Kemput – The Best Guitarist (1985 dan 1987)
Rere – The Best Drummer (beberapa tahun berturut-turut)
Mandau – The Best Keyboardist
Puncaknya, Grass Rock dipercaya menjadi band pembuka tur God Bless di 10 kota Indonesia, sebuah legitimasi tak tertulis bahwa mereka telah masuk jajaran elite rock nasional.
Grass Rock merilis lima album dan dua single. Album debut mereka “Peterson (Anak Rembulan)” diproduksi oleh Ian Antono di bawah label Atlantic Records.
Lagu-lagu ciptaan Edi Kemput seperti “Peterson (Anak Rembulan)”, Prasangka”, dan “Bersamamu” menjadi penanda identitas musikal band : melodis, progresif, dan sarat emosi.
Lagu “Bersamamu” diciptakan bersama almarhum Dayan Zmach, sementara “Peterson” menjelma menjadi lagu lintas generasi yang berkali-kali dire-master.

Pada masanya, Grass Rock berdiri sejajar dengan nama-nama besar seperti God Bless, SAS, Makara, Elpamas, dan AKA.
Ia dikenal sebagai gitaris yang diperhitungkan dan kerap menjadi additional player lintas genre, terlibat dalam berbagai proyek besar bersama: Erwin Gutawa Orchestra, Aminoto Kosim Orchestra, Adi MS – Twilite Orchestra, Andi Rianto – Magenta Orchestra, Chrisye, Krisdayanti, Titik DJ, Ruth Sahanaya, Ari Lasso, hingga Iwan Fals & Iwang Noorsaid Band.
Kolaborasinya bersama Iwan Fals dalam album “Orang Gila” menunjukkan fleksibilitas musikal Edi dari rock keras hingga pop progresif kontemporer.
“Yang paling mempengaruhi saya itu Erwin Gutawa. Dia membuka cara pandang bermusik yang lebih luas,” tuturnya.
Namun hidup Edi Kemput tidak berhenti pada panggung dan tepuk tangan. Di balik citra rocker yang kerap dilekatkan pada alkohol, narkoba, dan gaya hidup hedonis ia mengalami titik jenuh. Tahun 2003 menjadi momentum perubahan.
“Capek.. Jiwa capek,” katanya singkat.
Latar keluarga religious ibunya yang aktif dalam kegiatan Nahdlatul Ulama menjadi jangkar yang menahannya dari kehancuran total.
Pernikahan dan kehadiran keluarga menjadi cermin. Perlahan, Edi meninggalkan dunia gelap. Ia berhijrah.
Transformasi itu tidak berhenti pada diri sendiri. Edi kini aktif berbagi ke lapas, komunitas punk, dan kelompok masyarakat yang termarjinalkan. Ia tidak menggurui. Ia berbagi pengalaman hidup.
“Bukan tausiah, tapi sharing,” ujarnya merendah.
Ia terlibat dalam berbagai kegiatan sosial-keagamaan, termasuk “Hijrah Fest Palu 2018”, serta kajian musisi hijrah di berbagai masjid.
Baginya, musik dan iman tidak harus saling meniadakan. Musik, Kepedulian, dan Keikhlasan untuk Sesama
Dalam berbagai momentum solidaritas—termasuk kepedulian untuk saudara-saudara di Sumatera yang tertimpa musibah Edi menegaskan bahwa musik seharusnya hadir sebagai jembatan empati, bukan sekadar seremoni.
“Yang paling penting bukan seberapa besar nilainya, tapi seberapa ikhlas kita berbagi. Di mata Allah, keikhlasan jauh lebih berharga daripada angka,” ujarnya.
Baginya, musik yang dipersembahkan dengan niat tulus untuk meringankan beban sesama adalah bentuk ibadah sosial. Ia menolak menjadikan penderitaan orang lain sebagai alat pencitraan atau kepentingan kelompok.
Edi Kemput juga menyampaikan kritik terbuka kepada pemerintah sebagai pengelola negara. Menurutnya, bencana yang berulang tidak selalu murni kehendak alam, tetapi sering kali lahir dari ketidakjujuran, kelalaian, dan pengelolaan yang tidak amanah.
“Pemimpin harus jujur dan amanah. Kalau tidak, yang selalu menjadi korban adalah rakyat,” tegasnya. Jabatan, bagi Edi, adalah titipan yang kelak harus dipertanggungjawabkan, bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kepada Tuhan.
Kini, di usia hampir 60 tahun, Edi Kemput masih memainkan gitar. Namun distorsi itu kini berpadu dengan kesadaran, empati, dan tanggung jawab sosial.
Di tengah negeri yang terus diuji oleh bencana dan krisis kepercayaan, suara Edi Kemput menjadi pengingat bahwa musik, iman, dan keberpihakan pada kemanusiaan seharusnya berjalan seir ingbukan sebagai topeng, melainkan sebagai komitmen hidup.
“Sebagai musisi atau seniman sebaiknya kita jangan hanya berteriak pada kepentingan golongan atau komunitas saja. Memiliki empati juga harusnya luas karena kita punya hati nurani sebagai manusia untuk berbagi pada segala hal, ” tutup Edi Kemput.
Penulis : Beng Aryanto
