iMusic – Jakarta, 17 April 2020 – Tepat seminggu
menjelang merilis album kedelapannya, ikon musik rock The Used melepas
satu single baru yang cukup energik, catchy dan memikat untuk
para penggemarnya hari ini “Cathedral Bell”. Artwork resmi dari “Cathedral
Bell” mengusung konsep kartu tarot dan dibuat oleh seniman bernama Drew
Merrit.
Sebelum dirilis secara resmi hari ini, “Cathedral Bell”
sempat diperdengarkan secara eksklusif di situs resmi NYLON. “Album
kedelapan ini akan dirilis 24 April 2020, minggu depan – album ini akan datang
dalam dunia yang keadaannya sedang berbeda dari yang direncanakan, namun
kehadirannya dalam sikon yang sedang begini membuat lagu- lagunya dan isi
pesannya sekarang lebih beresonansi.
“Lagu ini mengingatkan masa kecil saya, dan betapa susahnya
saya untuk tidur. Saya tidak mau tidur dan anehnya ketika saya mau tidur pun
saya teteap tidak bisa tidur. Saya teringat menjadi bagaimana menjadi anak
kecil di dalam keadaan gelap dan masih bangun diatas jam tidur pada umumnya.”
tutur McCracken (vocal) mengenai “Cathedral Bell”.
Album kedelapan dari The Used, “Heartwork” akan
dirilis hari Jumat depan tanggal 24 April 2020. Dirilis melalui label mereka Big
Noise, album ini akan disampaikan dengan semangat yang sama dengan album-album
platinum yang memperkenalkan The Used kepada dunia juga dicampur dengan
sertifikasi gold yang mereka terima untuk album ketiganya. Emosi, ketulusan dan
kerentanan yang didapatkan pada album mereka “The Used” (2002) dan In Love
and Death (2004) sekarang terdengar lebih keras pada album barunya.
“Heartwork” memiliki 16 lagu yang cukup beragam. Bukan hanya dari segi musiknya
saja, tapi secara pesan juga bermacam-macam dari mulai mengintrospeksi diri
sampai dengan politik.
Energi yang disuguhkan dalam album Heartwork ini akan
terdengar akrab bagi para penggemar The Used yang sering menonton mereka
bermain secara langsung, baik dari era mereka bermain di Ozzfest, Warped
Tour atau Linkin Park’s Projekt Revolution; tur bersama Taking
Back Sunday; atau menjadi bintang utama bersama Taste Of Chaos dan
juga berbagi panggung dengan My Chemical Romance, Rise Against the
Macine, Killswitch Engage, dan Underoath.
Rilisan The Used belakangan ini seperti “Blow Me”, “Paradise
Lost, a poem by John Milton” dan yang terbaru hari ini “Cathedral Bell”
pastinya akan membawa mereka ke skena musik “screamo”. Harapannya
lagu-lagu ini juga bisa menjadi anthem yang dapat menaklukkan hati dan
pikiran dunia musik rock. Lagu – lagu seperti “The Bird and the Worm,” “The
Taste of Ink,” “All That I’ve Got,” “I Caught Fire,” and “Blood
On My Hands” dicintai banyak orang di penjuru dunia karena emosi autentik
yang mengalir di lagunya. Seperti yang pernah diutarakan oleh Kerrang!,
The Used bisa dibilang salah satu pembuka jalan dalam skena musik punk rock
yang turut memberi andil untuk band seperti My Chemical Romance dan Fall Out
Boy.
‘Heartwork’ menandakan kembalinya John Feldmann ke
keluarga besar The Used, dimana iya memproduseri album tersebut dan menjadi
Kepala A&R di Big Noise. “Saya tidak bisa mengungkap betapa terhormatnya
saya dan bersyukur untuk bisa bekerja sama dengan salah satu band favorit saya
sepanjang masa di label rekaman saya sendiri! Mereka salah satu band yang
sangat berpengaruh dalam 20 tahun terakhir dan kini sedang menggarap sebuah
album yang akan mendefinisikan perjalanan karir kami. “ kata Feldmann. “Mereka
merupakan band dengan performance live terbaik yang pernah saya saksikan
dan Bert mungkin penyanyi terbaik yang pernah bekerja dengan saya. Ini
merupakan mimpi saya dari pertama kali saya bertemu dengan mereka di 2001.”
Feldmann merekrut The Used sebagai artis/band Reprise
Records sejak Januari 2002, setahun setelah band tersebut terbentuk di Orem,
Utah. Beliau juga memproduseri beberapa album yang cukup monumental
termasuk album perdananya ‘Maybe Memories’, ‘In Love and Death’,
‘Lies for the Liars’, ‘Vulnerable and Imaginary Enemy.’
Hampir 20 tahun yang lalu, The Used datang dan terus
konsisten dalam merilis album yang membentuk musik skena alternatif rock.
Energi tinggi ketika bermain live, lirik yang cukup relevan dan melodi yang
menyaru. The Used terdiri dari Bert McCracken (Vocals), Jeph Howard
(Bass), Dan Whitesides (Drums) dan Joey Bradford (Guitar). (FE)
iMusic.id – Setelah lebih 2 dekade bersama, 7 album studio dan sederet single lepasan, The Rain masih bertahan dengan formasi awal sejak berdiri pada tahun 2001. Indra Prasta (vokal, gitar), Iwan Tanda (gitar, vokal), Ipul Bahri (bass, vokal) dan Aang Anggoro (drum, vokal).
Akhir November 2025, beberapa minggu menjelang ulang tahun The Rain ke- 24, grup asal Yogyakarta ini merilis sebuah single baru berjudul “Cerita yang Tersimpan”.
“Salah satu cara kami bersyukur masih diberi umur dan tetap bersama selama ini adalah dengan berkumpul dan melahirkan karya baru, ini juga wujud terima kasih kami pada teman-teman yang menggemari lagu-lagu The Rain selama ini, pada para The Rainkeepers”, ujar Indra.
Dari balutan aransemennya, lagu anyar The Rain ini terdengar seperti mesin waktu yang membawa pendengar ke akhir dekade 80-an. “Kami mencoba beberapa aransemen untuk lagu ini dan ternyata rasanya paling cocok dibawa ke era 80-an,” ujar Iwan.
Di studio, mereka bernostalgia mendengarkan lagu-lagu dari Richard Marx dan Def Leppard sebagai referensi saat mengerjakan aransemen lagu ini.
“Dulu saat remaja, kami memang tumbuh dengan lagu-lagu di era tersebut, jadi tak sulit untuk menghadirkan kembali nuansanya lewat lagu ini,” tambah Ipul.
“Dari sisi lirik, lagu ini bercerita tentang sebuah kesalahan, sebuah hubungan yang tak diakui terjadi. “Pelik deh.. hahaaa,” sahut Aang yang juga dipercaya untuk mengerjakan artwork single ini.
Cerita yang Tersimpan menjadi single lepasan ke-7 yang The Rain rilis setelah album “Mereka Bilang Kita Terjebak Bersama” dirilis pada 2022. Akankah di tahun 2026 nanti album ke-8 The Rain akan dirilis?
iMusic.id – BASEJAM hadir dengan single terbaru yang merupakan penghormatan terhadap salah satu legenda musik Indonesia, The Godfather of Broken Heart, Didi Kempot. Single ini merupakan daur ulang dari salah satu hits terbesar Didi Kempot yaitu, “Pamer Bojo”.
Para pecinta musik Indonesia tetntu masih ingat lagu-lagu legendaris dari legenda musik Indonesia, Didi Kempot, termasuk lagu berjudul “Pamer Bojo”? BASEJAM merilis ulang lagu ini di bulan Desember 2025 ini. Single yang dirilis tepat di bulan kelahiran Didi Kempot merupakan bentuk penghormatan dan sekaligus pelepas rindu akan karya-karya hebat Didi Kempot.
Pemilihan sosok Didi Kempot bukanlah tanpa alasan. Menghormati dan melestarikan karya seorang tokoh musik Pop Jawa terbesar, sudah sewajarnya dilakukan oleh setiap musisi Indonesia. BASEJAM berharap interpretasi yang dihadirkan dapat diterima dan dilihat sebagai hasil usaha terbaik. Jasa Didi Kempot sangatlah besar dalam mempopulerkan musik Pop Jawa sehingga menjadi musik yang sangat dekat dengan masyarakat, tidak hanya orang Jawa, tapi hingga ke Suriname. Dan ini juga bentuk partisipasi BASEJAM dalam melestarikan salah satu kekayaan bangsa, yaitu Bahasa daerah Jawa.
“Sudah beberapa tahun BASEJAM terpikir mengeluarkan single yang merupakan aransemen ulang lagu dari seorang tokoh legendaris. Kalau di panggung sih sudah beberapa kali, tapi kalau merekam dan merilis, ini baru pertama kali. Oleh karena itu, kami mengupayakan aransemen terbaik yang masih terdengar BASEJAM tapi tidak menghilangkan ciri dan pesan lagunya”, ujar Sita.
Menjelang usia BASEJAM ke-32 tahun, sebuah hal baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya berhasil diwujudkan, yaitu mengaransemen ulang satu lagu milik legendaris maestro Pop Jawa Didi Kempot yang berjudul “Pamer Bojo”.
“Dari awal memilih lagu apa yang mau kami aransemen ulang, lagu Pamer Bojo memang menjadi salah satu pilihan teratas. Kami merasa inti cerita lagu ini sangat menggambarkan esensi Pakde Didi Kempot yang dikenal dengan Godfather of Broken Heart. Jadilah akhirnya pilihannya jatuh ke lagu “Pamer Bojo”, ujar Alvin.
“Saya sebagai orang Jawa dan sebagai personil BASEJAM, merasa interpretasi BASEJAM akan “Pamer Bojo”bisa dibanggakan lah. Mungkin terdengar tidak obyektif, tapi kalau orang lain mendengarnya akan punya pendapat yang miriplah, bahwa aransemen ini cukup baru, tapi tetap BASEJAM, tapi juga tetap lagu “Pamer Bojo””, ujar Oni.
“Salah satu pengalaman berharga dalam proses produksi kali ini adalah proses kolaborasi yang bertema Nusantara alias Indonesia. Lagu Jawa, kini dinyanyikan oleh penyanyi yang salah satunya adalah orang Sunda, dibantu teman kami si pengarah vokal Bakhes Igirisa yang adalah orang Sulawesi, aransemen dibantu oleh teman kami Figgy Papilaya dari Ambon serta penata suara Bennytho Siahaan yang merupakan orang Batak. Jadi, ini merupakan pengalaman yang tak ternilai harganya. Seakan-akan menjadi bukti bahwa walau Pakde Didi sudah tidak ada, beliau tetap jadi pemersatu banyak orang sambil menikmati karya beliau”, ujar Alsa.
“Tantangan banget buat aku yang nggak ngerti bahasa Jawa, jadi belajar arti liriknya agar dapat menghayati isi lagunya dan juga belajar artikulasi kata Jawa yang benar. Ini rekaman yang paling medok yang pernah aku lakukan! Tapi, bersyukur banget bisa punya kesempatan merekam ulang lagu ini, salah satu mimpi kami, BASEJAM, yang berhasil kami wujudkan”, ujar Sigit
Lagu “Pamer Bojo”memiliki pesan yang lebih dalam dari sekedar arti judul lagunya. Lagu ini menceritakan bagaimana seseorang merasa tersakiti karena ketika dia belum bisa move on dari mantannya, ternyata si mantan sudah menjalin hubungan baru, sudah bahagia dengan yang lain dan sudah “memamerkan” pasangan barunya. Rasa sakit dan sedih dialami seseorang yang ditinggalkan dan terlupakan.
Pesan ini coba diterjemahkan dalam aransemen musik ciri khas BASEJAM yang bergenre Pop, dengan warna vokal Sigit dan Alvin. Hasil yang dikeluarkan adalah warna “Pamer Bojo”yang terdengar lebih segar, kekinian, tapi tetap terdapat ciri khas medok Pop Jawa.
Pendengar akan dikejutkan dengan beberapa hal yang tidak pernah BASEJAM hadirkan di karya-karya sebelumnya, baik dari segi aransemen musik maupun vokal.
Penasaran? Langsung dengarkan lagu “Pamer Bojo”versi BASEJAM di semua digital streaming platform. Single baru BASEJAM, “Pamer Bojo”sudah dapat dinikmati di semua Digital Music Platform.
iMusic.id – “Long live ‘70s Indonesian rock, this is Baby Rock by SAS”, begitu suara DJ Cotter Phinney saat siaran khusus satu jam di radio KPiss FM, Brooklyn, New York pada akhir, minggu lalu. Cotter, pemilik label rekaman, Psychic Reader, memutar 9 lagu koleksi dari SAS dan AKA sebagai penanda atas peluncuran album koleksi Piringan Hitam SAS di New York.
Nama SAS, band legendaris asal Surabaya bukan nama asing bagi fandom psychedelic rock
Amerika. Band yang terbentuk pada tahun 1975, dengan personel Soenatha Tanjung (gitar,vokal), Arthur Kaunang (bass, keyboard) dan (alm) Syech Abidin (drum, vokal), sebelumnya bergabung dalam AKA (Anak Kali Asin) bersama Ucok Harahap, hingga akhirnya memutuskan untuk berpisah.
Trio SAS dipengaruhi oleh aliran rock era itu, seperti Emerson Lake & Palmer, Deep Purple, Pink Floyd dan Grand Funk.
“Tahun 1975, SAS merilis debut album dengan hit “Baby Rock”, sebagai sumbu ledak kelahirannya di panggung dan rekaman musik rock Indonesia”, tutur Denny MR, jurnalis dan kritikus musik Indonesia.
Bukan hanya “Baby Rock”, sejumlah lagu SAS seperti “Space Ride, Bad Shock” dan “Tatto Girl” disukai puluhan ribu fans millennial dan gen Z. Mereka memburu koleksi kaset dan piringan hitam lebih dari 15 album SAS di berbagai toko reseller.
Video lirik “Baby Rock” ditonton ratusan ribu di halaman YouTube, menunjukkan bahwa musik SAS mampu menembus semua zaman. Sejak album terakhir pada tahun 1991, untuk pertama kalinya koleksi album SAS Group, Bad Shock kembali di release dalam bentuk piringan hitam, oleh label rekaman Psychic Reader, New York.
“Dibandingkan musik dari negara lain, entah mengapa musik Indonesia seolah terabaikan, padahal banyak karya musik yang bagus”, ujar Cotter Phinney, produser Psychic Reader.
“SAS adalah band yang sangat bagus dan mereka seharusnya mendapatkan lebih banyak pengakuan. Merupakan suatu kehormatan bagi saya untuk memproduksi rekaman SAS pertama di luar Indonesia, tepatnya di New York, dan saya harap ini akan membuka pintu bagi audiens global”, tambah Cotter yang juga dikenal sebagai gitaris dan vokalis dari post punk band asal Brooklyn, Medium.
“Bagi saya, SAS reborn ini adalah suatu gebrakan kebangkitan musik Rock ‘70an. Saya tidak pernah bermimpi kalau musik SAS masih bisa hadir dan disukai hingga kini. Apalagi, album ini direlease di New York, dan bertepatan dengan anniversary SAS ke 50 tahun. Ini Mukjizat Tuhan yang besar bagi kami bertiga”, ucap Arthur Kaunang yang mengikuti proses produksi dari awal.
Sementara, beberapa bulan sebelum album ini diluncurkan. pre-order piringan hitam datang dari distributor musik di Jepang.
“Seluruh kurasi, digitalisasi-analog dan distribusi dilakukan di New York. Kami sedang memproses distribusi untuk pasar di Indonesia”, ujar Naratama, pengarah kreatif New York yang menjadi co-produser album ini.
Naratama, berharap agar peluncuran album ini akan membuka jalan bagi musisi Indonesia lain untuk masuk ke pasar Amerika.