iMusic – Julien Baker membagikan “Heatwave,”
sebuah single dari album Little Oblivions, rilis hari Jumat, 26 Februari
lalu. Lagu ini merupakan kelanjutan dari single-single Baker sebelumnya, “Hardline,”
“FaithHealer”, dan “Favor” yang menampilkan kolaborator
boygenius Phoebe Bridgers dan Lucy Dacus.
NPR Music juga akan mengadakan acara listening
party pada pukul 2 PM EST di channel NPR Music YouTube, menampilkan
Julien Baker bersama bintang tamu spesial Mackenzie Scott (aka Torres) dan
jurnalis Jewly Hight mendiskusikan albumnya. Ia juga baru saja mengumumkan
konser pertamanya untuk promosi album ini yang akan tayang pada 25 Maret
mendatang. Konser ini akan ditayangkan dari Analog, Nashville (di Hotel Hutton)
via STAGED, seri konser visual dari Audiotree.
Little Oblivions masuk ke daftar ‘11 Things To
Look Forward to In 2021’ dari The New York Times yang menyebutnya “Menakjubkan
sekali melihat penulis lagu yang tetap jujur apa adanya meskipun penontonnya
bertambah… Ia menaikkan musiknya ke ruang yang lebih besar, dikelilingi band
rock yang gitar dan drumnya keras, tetapi ia tidak bersembunyi di balik mereka.
Ia tetap bersinar sendiri.”
Rolling Stone menambahkan “Little Oblivions bukan
hanya karya yang paling kaya dan paling pop sepanjang karir Julien, tetapi juga
yang paling jujur dan apa adanya.” Variety juga menambahkan, “Meskipun ia tetap
mempertahankan gaya penulisan lagu yang autobiografis dan katarsis, aransemen
lagu-lagu di album ini jauh lebih kaya dengan berbagai instrumen, yang hampir
semuanya dimainkan oleh Julien sendiri. Tanpa ingin membandingkan, kalau di
2020 ada Punisher dari Bridgers, 2021 ini bisa dibilang milik Little
Oblivions.”
Julien Baker juga membawakan ‘Faith Healer’ di The
Late Show With Stephen Colbert. Syuting penampilan ini dilakukan di Nashville,
dan Baker didampingi full band yang mempertegas suara megah yang ia bawakan di
albumnya. Stereogum menyebut penampilan ini “luar biasa” sedangkan Rolling
Stone berkomentar, “Baker dan band membawakan lagu yang luar biasa ini,
menuntunnya menuju chorus akhirnya yang menggugah, ‘Oh faith healer, come put
your hands all over me,’ Baker bernyanyi, menampilkan suaranya yang luar
biasa.”
‘Faith Healer’ merupakan perkenalan perdana
Little Oblivions dengan palet musik yang luas dan menularkan keberanian, sebuah
transformasi suara bagi Julien yang karya-karya sebelumnya lebih intim. Little
Oblivions direkam di kampung halaman Baker di Memphis, Tennessee sejak Desember
2019 hingga Januari 2020, dibantu engineer Calvin Lauber dan mixing oleh Craig
Silvey (The National, Florence & the Machine, Arcade Fire) yang keduanya
juga bekerja sama dengan Baker di album Turn Out the Lights (2017).
Permainan gitar dan piano memukau dari Baker
dipadukan dengan bass, drum, synthesizer, banjo, dan mandolin — semua
instrumen tersebut dimainkan oleh Baker sendiri. Album ini menjadi autobiografi
untuk pengalaman hidup yang ia jalani dan pengamatannya akan sekelilingnya,
menunjukkan kepiawaian Baker dalam bercerita.
Di bulan Oktober lalu, pengumuman rilis Little
Oblivions masuk ke top 20 trending di Twitter dan beberapa album edisi spesial
yang dijual terbatas (via Matador Records, Vinyl Me Please, Magnolia Record
Club, 6131 Records, dan Spotify) lansung terjual ludes. Pre-order album ini
mencapai 6000 eksemplar dan hingga saat ini, “Faith Healer” sudah didengarkan
lebih dari 2 juta kali.
Album ini menjadi follow-upnya untuk album
keduanya di tahun 2017 dan album pertamanya di Matador, Turn Out The Lights.
The New York Times memuji LP ini sebagai “karya seorang penulis lagu yang
beresonansi dengan penonton internasional, album kedua yang langka, membentang
melampaui debut yang murni menjadi luar biasa”. The Sunday Times juga
menyebutnya sebagai “paduan vokal, aransemen yang kaya, dan post-mortem
tentang cinta, kehilangan, kehancuran, dan penerimaan”. Baker juga
membawakan lagu-lagu dari album tersebut di Late Show with Stephen Colbert dan
CBS This Morning.
Pada tahun 2018, Baker membentuk boygenius
bersama Phobe Bridgers dan Lucy Dacus. EP boygenius dan tur Amerika mereka
menjadi salah satu yang banyak dibicarakan oleh komunitas musik pada tahun
2018, melejitkan nama Baker sebagai salah satu musisi era ini.
Baker langsung menarik perhatian publik pada
tahun 2015 saat debutnya dengan Sprained Ankle. Direkam hanya dalam beberapa
hari, album ini merupakan meditasi yang hampa tetapi penuh harapan tentang
identitas, kecanduan, kepercayaan, kesungguhan, dan pengakuan dosa. MOJO
menyebutnya, “menenangkan sekaligus mengusik lewat katarsisnya,” semenara
Pitchfork mendeskripsikannya, “kalau kamu mencari lagu pengakuan dosa yang
jujur, Sprained Ankle adalah yang kamu cari.” Album ini juga masuk ke berbagai
list akhir tahun.
The New Yorker mendeskripsikan Baker sebagai
performer yang intens dan penuh penghayatan. “Penampilannya hening, syahdu.
Suara yang kamu dengar di antara lagu hanya jemarinya yang sibuk menyetem gitar
serta bisik-bisik di antara teman dan penonton yang menunggu Baker untuk
bernyanyi lagi.”
Baker sudah berkolaborasi dengan Frightened
Rabbit, Matt Berninger, Becca Mancari, dan Mary Lambert untuk lagu-lagu
rekamannya. Sementara itu, ia juga berkolaborasi di panggung bersama Justin
Vernon, The National, Sharon Van Etten, Ben Gibbard, Hayley Williams, dan
banyak lagi.
Simak pula essay tentang album ini yang ditulis
oleh penyair, penulis, dan kritikus budaya Hanif Abdurraqib (Go Ahead In The
Rain, They Can’t Kill Us Should They Kill Us, A Fortune For Your Disaster).
Little Oblivions Kalau kamu cukup beruntung di masa depan, kecemasanmu hari ini
akan menjadi memori romantis di masa depan. Aku berharap, orang-orang yang
mendengarkan album ini, di masa depan mengingat apa yang pernah mereka alami
saat ini. Dunia yang, entah kapan itu akan terjadi, didefinisikan oleh kerja
keras orang-orang yang terus memperjuangkan hak mereka. Dunia yang juga tidak
mengabaikan kaum yang terpinggirkan.
Untuk saat ini, mari mendengarkan album baru
Julien Baker yang menawarkan pemahaman baru terhadap dunia, dengan sentuhan
yang khas. Pada saat artikel ini ditulis, aku tidak ingin bertemu orang yang
aku cintai dan aku rindukan, tetapi mereka selalu ada. Di era dimana orang bisa
menyapa lewat layar seperti kita menyapa lewat jendela. Era dimana kita bisa
saling menjangkau. Era dimana sentuhan terasa seperti ilusi. Jika kita kurang
beruntung, seumur hidup mungkin kita akan terus menerus merasakan sakit yang
tak kunjung usai.
Pergumulan batin menjadi efek samping waktu, dan
akan terus menjadi efek samping atas apapun yang akan terjadi nanti. Karena
itu, ketika aku mendengar Julien Baker untuk pertama kali, aku penasaran
bagaimana bisa seorang musisi melewati introspeksi diri yang tanpa henti. Aku
pernah kesepian, pernah sendiri, pernah terisolasi. Banyak musisi yang tentu
sudah paham dengan kondisi ini. Apa yang berbisik di celah-celah watu ketika
orang sendiri. Julien Baker adalah salah satu musisi yang seperti itu. Seorang
penulis yang meneliti kekacauan mereka sendiri, bukan demi mencari jawaban,
tapi terkadang hanya untuk mencari jalan keluar. Bagaikan mercusuar untuk
mengatasi kekacauan yang lebih baru, lebih besar.
Sulit untuk mengungkapkan perasaan ini dengan
kata-kata. Little Oblivions adalah album yang melangkah ke dalam perasaan itu
dan mengembangkannya. Mulai dari gelombang nada di “Hardline” yang mengguncang
batin, hentakan terus-menerus yang penuh kasih di “Relative Fiction”
hingga “Crying Wolf “.
Mendengarkan album ini terasa seperti mengemudi
di terik mentari yang cepat berubah menjadi pemandangan dingin dan hujan lebat.
Begitu pun secara lirik. Ada penulis yang berusaha menggedor pintu
pendengarnya, meneriakkan kesedihan mereka. Tapi ada juga penulis yang
berasumsi bahwa yang mendengarkan sudah tahu bagaimana rasanya bangkit dari
patah hati, atau bagaimana kamu berteriak ke kegelapan yang abadi dan hanya
mendengar gema. Little Oblivions adalah album yang merincikan semua perjuangan,
semua teriakan. Album yang tidak menjanjikan pemulihan. Karena kesempatan untuk
pulih dari himpitan kesulitan tidak ada jaminan. Ya, kehidupan yang terus
tumbuh tanpa jaminan. Tapi kita sungguh beruntung masih hidup, walaup hidup
dalam kekacauan kita sendiri.
Proyek besar Julien Baker, seperti yang selalu
kuproyeksikan pada diriku sendiri, adalah pertanyaan utama tentang apa yang
dilakukan seseorang yang mengalami banyak tragedi dalam hidup, tidak pernah
mereka minta, tetapi harus dimanfaatkan. Aku sudah lama tidak berharap dengan
dunia yang begitu brutal dan tidak kenal ampun, tetapi musik mampu membawaku
kembali memiliki harapan. Apakah ini lagu untuk bertahan hidup, atau lagu
tentang konsep ulang diri yang lebih baik? Aku masih berharap bahwa di ujung
kehancuran diri kita masih ada pintu. Dan melalui pintu yang terbuka itu, pohon
tinggi menjulang menaungi hal yang kita cintai dengan keteduhannya.
Sebuah bangku dan di atasnya, jaket milik
seseorang yang telah meninggalkan kita. Burung yang bernyanyi merdu. Sudut
kecil di bumi yang belum hancur atau menghilang. Aku bisa yakin dengan harapan
seperti ini. Mendengar seseorang yang berjuang mati-matian tetapi tetap bisa bersyukur
dengan keadaan menyadarkanku bahwa sesuatu yang indah akan hadir jika kita
tetap berjuang.
Julien, aku sungguh senang mendengarkanmu lagi.
Kini, dengan semua keletihan dan kebahagiaan kita. Aku rindu bagaimana dunia
merefleksikan diriku. Sekarang, aku membuat dinding dari cermin. Aku sangat
berterima kasih telah mendengar kebisingan yang jauh lebih baik dari rintihan
bayangku sendiri. Julien, kamu berhasil melakukannya lagi. Kamu adalah pesulap.
Kamu adalah pembuat cermin.
Terima kasih telah membuat kami sekali lagi melihatmu melakukan manuver introspeksi diri, baik yang menyenangkan maupun tidak. Aku ingin di masa depan, ada orang-rang yang mengingat bagaimana album ini hadir di waktu kita semua ingin bangkit. Keika membayangkan orang, kota, negara, meluas. Ketika di kesendirian, ada orang-orang yang ingin disentuh mereka yang tidak bisa disentuh. Terima kasih, Julien, untuk semua ini. Kotak kaca kecil ini akan jauh lebih bermanfaat untuk seseorang menyelami kedukaan mereka sendiri. Kerajaan kecil dari pecahan sinar matahari, perlahan menyinari kegelapan. (FE)
iMusic.id – 9 tahun bukan umur yang singkat untuk sebuah grup musik elektronik yang beranggotakan Reza Oktovian, Eka Gustiwana, dan Roy Leonard ini. Proses pendewasaan terjadi sepanjang perjalanan Weird Genius, mulai dari perubahan personil hingga genre musik yang dianut WG.
Setelah masuknya Roy Leonard di tahun 2023 akhir, Weird Genius merilis Catalyst, sebuah proyek idealis yang akhirnya mengantarkan AMI Award di tahun 2024 lalu untuk WG, melengkapi Lathi yang juga pernah dianugerahi AMI Award di tahun 2020.
Vakum tanpa rilisan original selama 1 tahun (2024)bukan terjadi tanpa perencanaan, Weird Genius memutuskan untuk menempa, mengasah, dan kembali memantapkan jati diri sebagai grup elektronik Indonesia lewat ratusan panggung, puluhan sesi workshop, dan komunikasi intens dengan fans. 2025 menjadi awal baru untuk Weird Genius, warna baru yang kini semakin dewasa. Rilisan pertama tahun ini adalah sebuah single yang berjudul Desire, tanggal 14 Februari 2025.
Hasil kontemplasi selama 1 tahun ini membuat warna musik Weird Genius sedikit bergeser namun tetap mempertahankan elemen pop dalam penulisan lagunya, karena pada dasarnya sejak awal Weird Genius terbentuk tidak pernah memisahkan antara hype dancefloor dan pop easy-listening vibe dalam lagu mereka.
Liriknya bercerita tentang obsesi mendalam seseorang merupakan kisah nyata dari salah satu personil Weird Genius, seperti lagu-lagu WG sebelumnya, interpretasi dibebaskan ke pendengar. Tempo cepat, sentuhan tipis hyper techno dan speed house four on the floor, vocal stutter, dan lead drop mengawang mengajak pendengar untuk tenggelam dalam atmosfer halusinasi, sambil memejamkan mata dan tersenyum.
Bukan aransemen yang kompleks, tapi Weird Genius meyakini itu yang terjadi dalam setiap grup musik yang sudah mengalami pendewasaan, semakin bertambahnya tahun, kesederhanaan menjadi elemen penting dalam lagu mereka.
Lagu “Desire” ini menjadi awal coretan Weird Genius untuk industri musik di tahun 2025 dan akan menyusul beberapa single berikutnya yang kemudian akan menuju sebuah EP yang juga sedang dipersiapkan. Weird Genius meyakini industri musik elektronik Indonesia membutuhkan warna baru, maka lewat lagu ini juga mereka meng- encourage seniman musik elektronik lain untuk tidak takut menentukan arah bermusik mereka, yang mungkin saja berbeda dengan trend yang saat ini sedang berlangsung.
Desire sudah bisa didengarkan di seluruh Digital Streaming Platform, maupun Social Media Platform.
Weird Genius berterima kasih kepada seluruh media dan radio yang berkenan memasukan rilisan Desire ini ke dalam radarnya. Silakan tag sosial media WG dan ketiga member agar bisa direpost. (FE)
iMusic.id – Ndarboy Genk kembali menghadirkan karya terbarunya melalui single berjudul “Blong” yang telah dirilis di seluruh platform streaming musik. Video musik “Blong” juga telah tayang di channel YouTube resmi Ndarboy Genk. Lagu ini menandai momen nostalgia bagi Ndarboy Genk dengan kolaborasi spesial bersama Hendra Kumbara, yang pernah menjadi gitaris Ndarboy Genk sebelum memulai solo kariernya.
“Blong” adalah lagu yang menceritakan ekspektasi berlebihan terhadap seseorang, namun akhirnya realita tidak sesuai dengan harapan. Kata “Blong” diambil dari istilah sehari-hari yang berarti tertipu atau berharap sesuatu yang tak tercapai. Daru Jaya, pencipta lagu sekaligus sosok di balik Ndarboy Genk, menjelaskan bahwa lagu ini terinspirasi dari pengalaman pribadinya saat berharap lebih dari seseorang yang ternyata hanya nyaman sebagai teman.
“Lagu ini juga saya ibaratkan seperti fenomena judi online, di mana banyak orang berharap menang besar tapi malah tertipu. Pesannya sederhana: jangan terlalu muluk-muluk dalam berharap,” ujar Daru.
Kolaborasi dengan Hendra Kumbara dalam “Blong” terasa spesial karena menggabungkan dua vokal utama dalam satu lagu. Selain itu, “Blong” juga menampilkan aransemen musik reggae, sebuah genre yang menjadi bagian dari perjalanan awal Daru ketika ia tergabung di band reggae Pingkel Standing di Semarang. Nuansa reggae dalam “Blong” membawa warna baru bagi musik Ndarboy Genk, yang selama ini dikenal dengan sentuhan dangdut khasnya.
Proses kreatif di balik lagu dan video musik
Lirik lagu “Blong” pertama kali dibuat dari bagian reff, sementara bridge-nya terinspirasi dari tren media sosial “ubur-ubur pecel lele”. Ndarboy Genk berharap, selain menjadi lagu hits, “Blong” juga dapat turut mempopulerkan pecel lele Lamongan di seluruh Indonesia dan mendukung para pedagang pecel lele agar semakin berkembang.
Video musik “Blong” disutradarai langsung oleh Daru Jaya dan dibintangi oleh King Abdi, sahabat lama Daru yang kini dikenal sebagai food vlogger, pengusaha kuliner, dan jebolan MasterChef Indonesia Season 10. Syuting video musik ini penuh dengan cerita unik. Salah satu insiden terjadi ketika kameramen utama mengalami ambeien mendadak, sehingga proses syuting sempat tertunda selama empat jam untuk mencari pengganti.
Selain itu, hidangan buatan King Abdi yang awalnya dianggap hanya untuk keperluan akting ternyata benar-benar lezat hingga membuat kru berebut mencicipinya.
“Kolaborasi di lagu ‘Blong’ ini menjadi momen nostalgia yang menyenangkan. Saya bisa bekerja sama kembali dengan teman-teman lama seperti Hendra Kumbara dan King Abdi. Semoga lagu ini membawa energi baru dan terus memberikan karya yang fresh untuk para Koboy, sebutan untuk Konco Ndarboy,” tutup Daru. (FE)
iMusic.id – Lagu “Elegi Esok Pagi” versi terbaru yang dibawakan oleh Ebiet G. Ade bersama putra-putranya, Adera dan Segara, sukses mencuri perhatian para pendengar.
Hanya dalam waktu singkat 3 hari setelah perilisannya, lagu ini berhasil menempati posisi #4 di trending music YouTube, membuktikan bahwa karya legendaris Ebiet G. Ade masih sangat dicintai lintas generasi.
Lagu ini bukan sekadar remake dari versi Ebiet G. Ade sebelumnya, tetapi sebuah persembahan istimewa yang mengusung makna mendalam tentang keluarga dan kerinduan.
Dengan aransemen yang lebih segar namun tetap mempertahankan nuansa emosionalnya, “Elegi Esok Pagi” versi 2025 menghadirkan kolaborasi harmonis antara Ebiet G. Ade, Adera, dan Segara “tiga generasi dalam satu alunan nada”.
Video musiknya juga memperkuat pesan lagu dengan kisah menyentuh tentang sebuah keluarga yang harus berpisah sementara karena tuntutan pekerjaan, tetapi akhirnya bisa kembali bersama. Visual yang hangat dan penuh emosi ini semakin mempererat ikatan para pendengar dengan lagu tersebut.
Terima kasih atas dukungan luar biasa dari para penggemar! Jangan lupa untuk menonton, menikmati, dan membagikan Elegi Esok Pagi kepada keluarga serta teman-teman yang juga merindukan karya-karya Ebiet G. Ade.