Connect with us

iMusic

“SAJAMA CUT” kembali ke dunia permusikan Dengan Single Berbahasa Indonesia.

Published

on

iMusic – Dikenal memiliki diskografi 80% berbahasa Inggris, kini Sajama Cut kembali ke dunia permusikan dengan sebuah single berbahasa Indonesia.

Lima tahun setelah merilis album terakhir mereka Hobgoblin, Sajama Cut kembali dengan single terbaru mereka Kesadaran/ Pemberian Dana/ Gempa Bumi/ Panasea. Band yang dikenal sebagai salah-satu pelopor skena indie 2000-an ini akan merilis lagu baru tersebut dalam format kaset-single alias cassingle pada tanggal 1 Maret 2020 di bawah naungan label independen Lamunai Records. 

Lagu yang berjudul unik tersebut adalah simbol dari kembalinya Sajama Cut ke skena musik lokal  setelah hiatus dari panggung live selama 3 tahun.  Kesadaran/ Pemberian Dana/ Gempa Bumi/ Panasea adalah lagu bernuansa enerjik dengan melodi yang emosional dan mudah dicerna, serta lirik yang abstrak namun menggugah – sebuah ciri yang mengingatkan fans pada The Osaka Journals (2005), album kedua Sajama Cut yang banyak dipuja khalayak musik lokal.

Vokalis dan multiinstrumentalist band Marcel Thee menjelaskan, “Cassingle series ini mengingatkan gue pada kaset pertama yang gue beli dengan uang sendiri di tahun 1990 – single Iron Maiden yang berjudul Holy Smoke. Gue hanya mampu membeli itu saat itu, namun oleh sebab keterbatasaan itu, dua lagu di dalam single tersebut sangat spesial nilainya. Gue putar berulang-ulang. Kita ingin memberikan pengalaman itu kepada Sajama Kids; sebuah keindahan dalam keterbatasan di era dimana berjuta-juta musik begitu gampang didapat.“

Cassingle tersebut juga akan menampilkan lagu baru lainnya, yang berjudul Lukisan “Plaza Selamanya, Leslie Cheung“ Melukisku Melukisnya. Lagu ini diramaikan dengan aransemen strings dan koir dari komponis yang sedang banyak di-appresiasi asal Pontianak, Nursalim Yadi Anugerah.

Cover kaset tersebut di-desain oleh design house Table Six dengan fokus visual skulptur wajah Marcel.

Proses preproduksi untuk lagu-lagu baru ini berlangsung cukup intens.

“Selama 5 tahun setelah Hobgoblin, kita melakukan preproduksi untuk materi-materi baru ini. Terinspirasi khususnya dari panggung-panggung enerjik yang kita mainkan selama promo album itu, kita mulai menggubah karya-karya ini dari 2016, dengan cara paling konvensional yang pernah kita lakukan – yaitu meng-aransemen lagu di studio latihan,“ jelas Marcel.

“Album-album kita sejak Osaka semuanya adalah materi yang banyak dikerjakan di studio rekaman. Kompleks dan cukup menantang. Kali ini, kita ingin menerjemahkan energi panggung secara lebih sederhana dan tanpa filter, langsung ke pita rekaman,“ sambungnya.

Lirik yang selalu menjadi salah satu ciri Sajama Cut yang paling banyak dibahas pun tetap menawarkan ketajaman yang unik. Khususnya karena bentuk yang jauh dari klise-klise lirikal. Kedua lagu ini adalah lirik bahasa Indonesia Sajama Cut pertama setelah album pertama mereka Apologia di tahun 2002.

Jelas Marcel, “Lirik bahasa Indonesia mungkin dipertanyakan orang, tapi gue pribadi tidak pernah berencana secara intelektual. Semuanya organik. Lirik di lagu ini pun muncul secara alami ketika gue mulai menulisnya. Seperti biasa, banyak hal yang ingin gue tumpahkan, namun ada fokus tematik ke realita kedewasaan – Bahwa semakin kita berumur, kita semakin pintar. Dan dengan kepintaran itu, penderitaan duniawi semakin akrab. Manusia berevolusi pelan menuju duka kehidupan.“

Penggemar mereka yang disebut Sajama Kids sudah lama mengelukan kembalinya band yang beranggotakan Marcel Thee, Dion Panlima Reza, Hans Citra Patria, Arta Kurnia, dan R Banu Satrio ini ke panggung, dan harapan tersebut akan menjadi kenyataan pada hari peluncuran cassingle tersebut.

Pada hari yang sama Sajama Cut akan mengadakan sebuah surprise appearance di acara bertajuk Sunday Pop di venue Panhead di Radio Dalam, bersama dengan band-band seperti Logic Lost, Ballads of the Cliche, Dam-Dam Pop dan Gascoigne. Di acara tersebut Sajama Cut akan memainkan Kesadaran/ Pemberian Dana/ Gempa Bumi/ Panasea serta beberapa lagu baru lainnya. Acara tersebut dimulai pada jam 7 malam dan fans yang membeli kaset otomatis mendapatkan akses masuk gratis.

Sajama Cut terbentuk pada tahun 1999 di Jakarta, Indonesia dan dikenal sebagai salah satu band yang meledak pada era musik independen awal 2000-an. Mereka telah merilis 4 album, sejumlah  mini album yang banyak mendapatkan pujian dari khalayak dan kritisi musik dalam dan luar  negeri, serta berpartisipasi di beberapa soundtrack dan album kompilasi, termasuk di antaranya  film “Janji Joni” dan juga “JKT: SKRG” yang legendaris. Single mereka. “Less Afraid,” “Fallen Japanese,” “Alibi,” “Painting/Paintings”, dan “Fatamorgana” menembus posisi pertama di beberapa chart di radio.

 
Sajama Cut telah menerima banyak liputan dan apresiasi dari publikasi seperti Rolling Stone, HAI, Nylon, Esquire, Trax, FHM, The Jakarta Post, etc. Mereka juga telah tampil di beberapa siaran  langsung di TV seperti Indonesian Morning Show, beberapa acara di MTV Indonesia, Radio Show, etc.

 
Sajama Cut telah bekerja dengan beberapa musisi dan videografer dari Amerika Serikat, Inggris, Luxembourg, Jerman, Singapura, Jepang, Norwegia, Swedia, Belanda dan sebagainya.

Sajama Cut telah tampil di banyak konser, di antara dengan band-band kelas dunia seperti Asobi Seksu, MGMT, The Whitest Boy Alive, Ruins Alone, Ken Stringfellow, The Radio Dept., Sore, White Shoes and the Couples Company dan The Brandals.

Band ini terkenal karena keaktifannya dalam berkolaborasi dengan artis artis kontemporer baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk di antaranya Broken Machine Films, Ika Vantiani, Anggun Priambodo, Katherine Karnadi, dan banyak lagi.

Album terakhir mereka “Hobgoblin” yang dirilis pada Juni 2015 secara kilat menjual habis cetakan pertamanya sebanyak 1000 kopi. Album tersebut dirilis di bawah naungan label Elevation Records dalam format CD dan kaset. Dalam album ini, Sajama Cut berkolaborasi dengan 20 pelukis, ilustrator, penulis puisi, videografer dan sutradara sebagai bentuk kampanye promosinya. (FE)

iMusic

The Rain sambut ulang tahun ke 24 lewat single baru “Cerita Yang Tersimpan”

Published

on

iMusic.id – Setelah lebih 2 dekade bersama, 7 album studio dan sederet single lepasan, The Rain masih bertahan dengan formasi awal sejak berdiri pada tahun 2001. Indra Prasta (vokal, gitar), Iwan Tanda (gitar, vokal), Ipul Bahri (bass, vokal) dan Aang Anggoro (drum, vokal).

Akhir November 2025, beberapa minggu menjelang ulang tahun The Rain ke- 24, grup asal Yogyakarta ini merilis sebuah single baru berjudul “Cerita yang Tersimpan”.

“Salah satu cara kami bersyukur masih diberi umur dan tetap bersama selama ini adalah dengan berkumpul dan melahirkan karya baru, ini juga wujud terima kasih kami pada teman-teman yang menggemari lagu-lagu The Rain selama ini, pada para The Rainkeepers”, ujar Indra.

Dari balutan aransemennya, lagu anyar The Rain ini terdengar seperti mesin waktu yang membawa pendengar ke akhir dekade 80-an.  “Kami mencoba beberapa aransemen untuk lagu ini dan ternyata rasanya paling cocok dibawa ke era 80-an,” ujar Iwan.

Di studio, mereka bernostalgia mendengarkan lagu-lagu dari Richard Marx dan Def Leppard sebagai referensi saat mengerjakan aransemen lagu ini.

“Dulu saat remaja, kami memang tumbuh dengan lagu-lagu di era tersebut, jadi tak sulit untuk menghadirkan kembali nuansanya lewat lagu ini,” tambah Ipul.

“Dari sisi lirik, lagu ini bercerita tentang sebuah kesalahan, sebuah hubungan yang tak diakui terjadi. “Pelik deh.. hahaaa,” sahut Aang yang juga dipercaya untuk mengerjakan artwork single ini.

Cerita yang Tersimpan menjadi single lepasan ke-7 yang The Rain rilis setelah album “Mereka Bilang Kita Terjebak Bersama” dirilis pada 2022. Akankah di tahun 2026 nanti album ke-8 The Rain akan dirilis?

“Masih dikerjakan. Semoga segera,” tutup Indra.

Continue Reading

iMusic

Hormati alm Didi Kempot, Basejam remake lagu “Pamer Bojo”

Published

on

iMusic.id – BASEJAM hadir dengan single terbaru yang merupakan penghormatan terhadap salah satu legenda musik Indonesia, The Godfather of Broken Heart, Didi Kempot. Single ini merupakan daur ulang dari salah satu hits terbesar Didi Kempot yaitu, “Pamer Bojo”.

Para pecinta musik Indonesia tetntu masih ingat lagu-lagu legendaris dari legenda musik Indonesia, Didi Kempot, termasuk lagu berjudul “Pamer Bojo”?  BASEJAM merilis ulang lagu ini di bulan Desember 2025 ini. Single yang dirilis tepat di bulan kelahiran Didi Kempot merupakan bentuk penghormatan dan sekaligus pelepas rindu akan karya-karya hebat Didi Kempot. 

Pemilihan sosok Didi Kempot bukanlah tanpa alasan. Menghormati dan melestarikan karya seorang tokoh musik Pop Jawa terbesar, sudah sewajarnya dilakukan oleh setiap musisi Indonesia. BASEJAM berharap interpretasi yang dihadirkan dapat diterima dan dilihat sebagai hasil usaha terbaik. Jasa Didi Kempot sangatlah besar dalam mempopulerkan musik Pop Jawa sehingga menjadi musik yang sangat dekat dengan masyarakat, tidak hanya orang Jawa, tapi hingga ke Suriname. Dan ini juga bentuk partisipasi BASEJAM dalam melestarikan salah satu kekayaan bangsa, yaitu Bahasa daerah Jawa. 

“Sudah beberapa tahun BASEJAM terpikir mengeluarkan single yang merupakan aransemen ulang lagu dari seorang tokoh legendaris. Kalau di panggung sih sudah beberapa kali, tapi kalau merekam dan merilis, ini baru pertama kali. Oleh karena itu, kami mengupayakan aransemen terbaik yang masih terdengar BASEJAM tapi tidak menghilangkan ciri dan pesan lagunya”, ujar Sita.

Menjelang usia BASEJAM ke-32 tahun, sebuah hal baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya berhasil diwujudkan, yaitu mengaransemen ulang satu lagu milik legendaris maestro Pop Jawa Didi Kempot yang berjudul “Pamer Bojo”.

“Dari awal memilih lagu apa yang mau kami aransemen ulang, lagu Pamer Bojo memang menjadi salah satu pilihan teratas. Kami merasa inti cerita lagu ini sangat menggambarkan esensi Pakde Didi Kempot yang dikenal dengan Godfather of Broken Heart. Jadilah akhirnya pilihannya jatuh ke lagu “Pamer Bojo”, ujar Alvin.

“Saya sebagai orang Jawa dan sebagai personil BASEJAM, merasa interpretasi BASEJAM akan “Pamer Bojo”bisa dibanggakan lah. Mungkin terdengar tidak obyektif, tapi kalau orang lain mendengarnya akan punya pendapat yang miriplah, bahwa aransemen ini cukup baru, tapi tetap BASEJAM, tapi juga tetap lagu “Pamer Bojo””, ujar Oni.

“Salah satu pengalaman berharga dalam proses produksi kali ini adalah proses kolaborasi yang bertema Nusantara alias Indonesia. Lagu Jawa, kini dinyanyikan oleh penyanyi yang salah satunya adalah orang Sunda, dibantu teman kami si pengarah vokal Bakhes Igirisa yang adalah orang Sulawesi, aransemen dibantu oleh teman kami Figgy Papilaya dari Ambon serta penata suara Bennytho Siahaan yang merupakan orang Batak. Jadi, ini merupakan pengalaman yang tak ternilai harganya. Seakan-akan menjadi bukti bahwa walau Pakde Didi sudah tidak ada, beliau tetap jadi pemersatu banyak orang sambil menikmati karya beliau”, ujar Alsa.

“Tantangan banget buat aku yang nggak ngerti bahasa Jawa, jadi belajar arti liriknya agar dapat menghayati isi lagunya dan juga belajar artikulasi kata Jawa yang benar. Ini rekaman yang paling medok yang pernah aku lakukan! Tapi, bersyukur banget bisa punya kesempatan merekam ulang lagu ini, salah satu mimpi kami, BASEJAM, yang berhasil kami wujudkan”, ujar Sigit

Lagu “Pamer Bojo”memiliki pesan yang lebih dalam dari sekedar arti judul lagunya. Lagu ini menceritakan bagaimana seseorang merasa tersakiti karena ketika dia belum bisa move on dari mantannya, ternyata si mantan sudah menjalin hubungan baru, sudah bahagia dengan yang lain dan sudah “memamerkan” pasangan barunya. Rasa sakit dan sedih dialami seseorang yang ditinggalkan dan terlupakan. 

Pesan ini coba diterjemahkan dalam aransemen musik ciri khas BASEJAM yang bergenre Pop, dengan warna vokal Sigit dan Alvin. Hasil yang dikeluarkan adalah warna “Pamer Bojo”yang terdengar lebih segar, kekinian, tapi tetap terdapat ciri khas medok Pop Jawa. 

Pendengar akan dikejutkan dengan beberapa hal yang tidak pernah BASEJAM hadirkan di karya-karya sebelumnya, baik dari segi aransemen musik maupun vokal. 

Penasaran? Langsung dengarkan lagu “Pamer Bojo”versi BASEJAM di semua digital streaming platform. Single baru BASEJAM, “Pamer Bojo”sudah dapat dinikmati di semua Digital Music Platform.

Continue Reading

iMusic

Label US, Psychic Reader, rilis album koleksi SAS band dalam format Piringan Hitam

Published

on

iMusic.id – “Long live ‘70s Indonesian rock, this is Baby Rock by SAS”, begitu suara DJ Cotter Phinney saat siaran khusus satu jam di radio KPiss FM, Brooklyn, New York pada akhir, minggu lalu. Cotter, pemilik label rekaman, Psychic Reader, memutar 9 lagu koleksi dari SAS dan AKA sebagai penanda atas peluncuran album koleksi Piringan Hitam SAS di New York. 

Nama SAS, band legendaris asal Surabaya bukan nama asing bagi fandom psychedelic rock

Amerika. Band yang terbentuk pada tahun 1975, dengan personel Soenatha Tanjung (gitar,vokal), Arthur Kaunang (bass, keyboard) dan (alm) Syech Abidin (drum, vokal), sebelumnya bergabung dalam AKA (Anak Kali Asin) bersama Ucok Harahap, hingga akhirnya memutuskan untuk berpisah.

Trio SAS dipengaruhi oleh aliran rock era itu, seperti Emerson Lake & Palmer, Deep Purple, Pink Floyd dan Grand Funk.

“Tahun 1975, SAS merilis debut album dengan hit “Baby Rock”, sebagai sumbu ledak kelahirannya di panggung dan rekaman musik rock Indonesia”, tutur Denny MR, jurnalis dan kritikus musik Indonesia. 

Bukan hanya “Baby Rock”, sejumlah lagu SAS seperti “Space Ride, Bad Shock” dan “Tatto Girl” disukai puluhan ribu fans millennial dan gen Z. Mereka memburu koleksi kaset dan piringan hitam lebih dari 15 album SAS di berbagai toko reseller.

Video lirik “Baby Rock” ditonton ratusan ribu di halaman YouTube, menunjukkan bahwa musik SAS mampu menembus semua zaman. Sejak album terakhir pada tahun 1991, untuk pertama kalinya koleksi album SAS Group, Bad Shock kembali di release dalam bentuk piringan hitam, oleh label rekaman Psychic Reader, New York.

“Dibandingkan musik dari negara lain, entah mengapa musik Indonesia seolah terabaikan, padahal banyak karya musik yang bagus”, ujar Cotter Phinney, produser Psychic Reader.

“SAS adalah band yang sangat bagus dan mereka seharusnya mendapatkan lebih banyak pengakuan. Merupakan suatu kehormatan bagi saya untuk memproduksi rekaman SAS pertama di luar Indonesia, tepatnya di New York, dan saya harap ini akan membuka pintu bagi audiens global”, tambah Cotter yang juga dikenal sebagai gitaris dan vokalis dari post punk band asal Brooklyn, Medium.

“Bagi saya, SAS reborn ini adalah suatu gebrakan kebangkitan musik Rock ‘70an. Saya tidak pernah bermimpi kalau musik SAS masih bisa hadir dan disukai hingga kini. Apalagi, album ini direlease di New York, dan bertepatan dengan anniversary SAS ke 50 tahun. Ini Mukjizat Tuhan yang besar bagi kami bertiga”, ucap Arthur Kaunang yang mengikuti proses produksi dari awal.

Sementara, beberapa bulan sebelum album ini diluncurkan. pre-order piringan hitam datang dari distributor musik di Jepang.

“Seluruh kurasi, digitalisasi-analog dan distribusi dilakukan di New York. Kami sedang memproses distribusi untuk pasar di Indonesia”, ujar Naratama, pengarah kreatif New York yang menjadi co-produser album ini.

Naratama, berharap agar peluncuran album ini akan membuka jalan bagi musisi Indonesia lain untuk masuk ke pasar Amerika. 

Continue Reading