Connect with us

iMovies

Tayang di Bioskop Nasional Mulai 10 Desember, ‘The Science of Fictions’ Menghadirkan Pengalaman Sinema Yang Berbeda.

Published

on

iMusic – Film produksi Angka Fortuna Sinema, Kawan Kawan Media, Limaenam Films ‘The Science of Fictions’ akhirnya tayang di bioskop nasional mulai tayang 10 Desember. Sejak pertama kali melaksanakan premier dunia di Locarno Film Festival 2019 (Swiss) dan kemudian berkeliling ke lima belas festival film internasional, film ini kini dapat disaksikan di bioskop yang tersebar di seluruh Indonesia. Film yang disutradarai dan ditulis oleh Yosep Anggi Noen ini dibintangi oleh Gunawan Maryanto, Ecky Lamoh, Yudi Ahmad Tajudin, Lukman Sardi, Rusini, Asmara Abigail, Alex Suhendra, dan Marissa Anita.

Deretan penghargaan telah didapatkan oleh ‘The Science of Fictions’. Film ini juga baru saja memenangkan Piala Citra untuk Pemeran Utama Pria Terbaik yang diberikan kepada Gunawan Maryanto. Di penghujung tahun 2019, film ini diganjar tiga gelar dari majalah Tempo yaitu Film Pilihan Tempo, Sutradara Pilihan Tempo (Yosep Anggi Noen), dan Aktor Pilihan Tempo (Gunawan Maryanto). Di tempat pemutaran perdananya, film ini juga diberi Special Mention, 72 Locarno Film Festival, Concorso Internazionale, 2019.

Reaksi penonton hari pertama tergolong meriah. IqbalKurniaone di Twitter memberikan ulasannya, “Ajaib. Gila. Pengalaman nonton yang sangat nggak biasa bagi ane. Sedih dan bangga, sineas Indonesia masih bisa membuat karya luar biasa ini.” Sedangkan Randy Renaldy yang merupakan penonton pertama dari seluruh bioskop memberikan pujian di Instagram, “Terima kasih telah membuat film yg begitu unik, luar biasa, beda dari yang lain”.

‘The Science of Fictions’ dimulai kisahnya pada tahun 1960-an, di Gumuk Pasir Parangkusumo, Yogyakarta, Siman (diperankan oleh Gunawan Maryanto) melihat proses shooting pendaratan manusia di bulan oleh kru asing. Dia tertangkap penjaga dan dipotong lidahnya. Selama puluhan tahun, Siman bergerak pelan menirukan Gerakan astronot di luar angkasa untuk membuktikan kebenaran pengalamannya. Siman dianggap gila.

Film ‘The Science of Fictions’ menjanjikan sebuah eksplorasi visual dan penceritaan yang berbeda dari film-film lainnya. Pengalaman sinema ini makin nikmat jika dirasakan di bioskop. Yosep Anggi Noen yang di film ini berkolaborasi bersama sinematografer Teoh Gay Hian menjelaskan, “Film ini adalah tentang manusia yang bergerak pelan, jadi kami membicarakan bagaimana seharusnya kamera merekam gerak Siman.

Film ini direkam dengan banyak jenis kamera; HD, handycam, GoPro, kamera slowspeed, drone dan juga menunjukkan berbagai jenis kamera di layar termasuk roll film 16 mm. Konsep ini saya rancang sebagai bentuk ‘main-main’ untuk menunjukkan lintasan teknologi audio visual yang aksesnya saat ini semakin mudah, ada di setiap tangan manusia, lekat dengan tubuh dan semakin personal.”

Baginya di jaman dulu, produksi moving image hanya bisa dilakukan oleh pihak yang punya kuasa. “Itu yang mengakibatkan bukti-bukti sejarah seolah hanya bisa dikeluarkan oleh otoritas dan penguasa dan cenderung propaganda. Saat ini, sejarah ditulis oleh masing-masing manusia, lalu ujian berikutnya adalah soal kebenaran; rekaman siapa yang benar-benar benar? Tapi kami bicara ngalor-ngidul sambil ketawa-ketiwi soal konsep-konsep yang nampak rumit ini.”

Inspirasi pembuatan film ini datang kepada Yosep Anggi Noen ketika ia melihat sebuah lahan yang mirip dengan permukaan bulan di Parangkusumo, Bantul. “Lahan bernama Gumuk Pasir itu memikat sekali secara visual dan lingkungan di sekitar Gumuk juga menarik, ada karaoke murahan, ada lokasi manasik haji, ada lokasi tempat persembahan kepada Ratu Laut Selatan, ada tempat ibadah, bahkan pada waktu-waktu tertentu ada praktek prostitusi terselubung di sana,” ceritanya.

“Saat saya menemukan betapa hiruk pikuknya sebuah tempat tersebut, saya tergelitik juga untuk mengemas cerita di sana. Saya lalu berangkat dari bulan, bagaimana jika pendaratan manusia di bulan itu ternyata pengambilan gambarnya dilakukan di Gumuk Pasir? Saya menghubungkan dengan konteks politik di Indonesia tahun 60-an, yang sampai saat ini kita tahu bahwa ada ruang gelap sejarah saat perpindahan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto; berdarah-darah sekaligus manipulatif. Pendaratan di bulan sebagai keberhasilan yang dirayakan secara global dan politik yang manipulatif disaksikan oleh Siman, seorang petani biasa, manusia yang sederhana yang dibisukan.”

Produser ‘The Science of Fictions’ Yulia Evina Bhara yang telah berkolaborasi sebelumnya dengan Yosep Anggi Noen di film ‘Istirahatlah Kata-Kata’ mengatakan, “Ketika disodorkan konsep dan cerita ‘The Science of Fictions’, saya tak ragu dan langsung bersedia terlibat. Pertama, karena cerita Siman buat saya sangat sangat relate dengan kehidupan sehari-hari tapi di saat yang sama juga saya merasa cara tutur film ini belum pernah saya temukan di film Indonesia yang lain. Sebuah tantangan berat karena tokoh utama tidak ada dialog selama film tapi saya yakin dengan visi artistic Anggi dan Gunawan Maryanto pasti akan menghidupkan Siman. Yang paling menarik dari film ini untuk film Indonesia adalah karena film ini memberikan perbendaharaan baru, cara tutur sinema yang berbeda.”

Produser Edwin Nazir menambahkan, “‘The Science of Fictions’ adalah cerita yang sangat kuat tentang kebenaran informasi, dalam premis yang sangat unik. Sesuatu yang sangat relevan dengan kondisi Indonesia.” Saksikan ‘The Science of Fictions’ di layar lebar dan rasakan pengalaman sinema yang berbeda. (FE)

iMovies

Film horor “Danyang Wingit Jumat Kliwon” lekat dengan kultur budaya lokal

Published

on

iMusic.id – Antusiasme penonton terhadap “Danyang Wingit Jumat Kliwon” memuncak. Hanya beberapa jam setelah konferensi pers, lebih dari 3.000 tiket untuk Gala Premiere resmi ludes. Momentum ini menjadi sinyal kuat bahwa gelombang horor berbasis kultur Nusantara terus menemukan penontonnya.

Diproduksi oleh Khanza Film Entertainment, dan film ini disutradarai sekaligus diproduseri oleh Agus Riyanto dengan naskah karya Dirmawan Hatta. “Danyang Wingit Jumat Kliwon” menautkan atmosfer ritual, pusaka, dan mitos danyang dengan drama psikologis tentang harga sebuah ambisi mengarahkan teror bukan semata pada sosok gaib, tetapi pada keputusan-keputusan manusia yang rapuh.

Pesan moralnya tegas: hasrat akan kekuasaan dan keabadian dapat mengikis akal sehat pada titik itu, “hasrat manusia” tampil lebih menakutkan daripada perwujudan iblis itu sendiri. Celine Evangelista memerankan Citra, keponakan Mbok Ning asisten setia Ki Mangun. Citra direkrut sebagai sinden baru di sebuah padepokan, namun di balik panggilan seni itu, ia diam-diam ditetapkan sebagai tumbal terakhir dalam ritual keabadian.

Untuk memperdalam peran, Celine menjalani riset langsung ke pertunjukan wayang, mempelajari dunia nembang, dan berlatih intensif bersama acting coach.

“Saya menonton pertunjukan wayang secara langsung dan riset dari banyak aspek, karena nembang itu tidak mudah. Proses belajarnya cukup menantang, tapi justru itu yang membuat saya tertarik mengambil film ini. Saya juga ingin membuat orang-orang lebih peduli terhadap kesenian tradisional,” ujar Celine.

Di balik itu, Agus Riyanto menegaskan arah nilai yang ingin diantar pulang oleh penonton ialah. “Kita ingin mengangkat bahwa nilai budaya harus di atas nilai mistis yang tertinggal di dalamnya. Pada akhirnya penonton setelah keluar dari ruangan bioskop, membawa pesan, wayang adalah budaya Indonesia yang indah yang harus diperkenalkan ke setiap generasi, Bukan hal hal mistis yang dapat disalahgunakan untuk hal buruk.” kata Agus.

Dengan pijakan itu, “Danyang Wingit Jumat Kliwon” bukan hanya menghidupkan figur-figur penjaga tak kasat mata dalam khazanah lokal, tetapi juga mengangkat konflik keluarga dan konsekuensi ritual sebagai inti emosi cerita membuat teror terasa personal, berlapis, dan relevan. Ludesnya 3.000+ tiket Gala Premiere menjadi validasi awal bahwa perpaduan horor tradisi dan drama psikologis ini memiliki daya pikat kuat untuk peredaran nasional.

Continue Reading

iMovies

Danyang Wingit Jumat Kliwon sajikan kisah ritual tumbal manusia

Published

on

iMusic.id – Khanza Film Entertainment mempersembahkan “Danyang Wingit Jumat Kliwon”, film horor berlatar dunia pedalangan Jawa yang mengupas ambisi seorang dalang memburu hidup abadi melalui ritual terlarang.

Disutradarai sekaligus diproduseri oleh Agus Riyanto dengan naskah karya Dirmawan Hatta, film “Danyang Wingit Jumat Kliwon” ini hadir dengan mengedepankan horor okultisme yang berakar pada tradisi lokal, bukan semata deretan jump scare.

Kisahnya “Danyang Wingit Jumat Kliwon” berpusat pada Ki Mangun Suroto (Whani Darmawan), maestro dalang karismatik yang menempuh ilmu-ilmu kuno demi memperkaya diri dan menembus kematian. Tahun 2021, Citra (Celine Evangelista) keponakan Mbok Ning (Djenar Maesa Ayu), asisten setia Ki Mangun direkrut sebagai sinden baru di padepokan.

“Danyang Wingit Jumat Kliwon” menggambarkan di balik panggilan seni itu, Citra diam-diam ditetapkan sebagai tumbal terakhir untuk ritual keabadian. Demi upah yang ia harapkan untuk membantu pengobatan adiknya, Dewi (Aisyah Kanza), citra bertahan meski teror gaib makin menyesakkan. Kecurigaan Bara (Fajar Nugra), salah satu penjaga padepokan, kian menguat.

Alih-alih berpangku tangan, ia memilih menentang majikannya dan berupaya menyelamatkan Citra sebuah keputusan berisiko yang memacu mereka berpacu melawan waktu menuju puncak ritual Gerhana Bulan Merah yang bertepatan dengan malam keramat Jumat Kliwon.

Danyang Wingit Jumat Kliwon” menautkan atmosfer ritual, pusaka, dan mitos danyang dengan drama psikologis tentang harga sebuah ambisi. Antagonis yang kompleks, heroine yang dipaksa bertahan, serta momentum budaya yang lekat di ingatan publik menjadi pendorong ketegangan dari awal hingga klimaks.

Deretan pemain turut diperkuat Nathalie Holscher sebagai Putri Kusuma Ratih, serta Norma Cinta, Dimas Tedjo, Putri Maya Rumanti, Angga Wijaya, Keona Cinta, dan Bilqis Hafsa.

Continue Reading

iMovies

Ultah ke 21, Maxima Pictures perkenalkan film “Jangan Panggil Mama Kafir”

Published

on

iMusic.id – Rumah produksi Maxima Pictures bekerjasama dengan Rocket Studio Entertainment kembali menghadirkan karya terbarunya berjudul “Jangan Panggil Mama Kafir”, film yang manampilkan Michele Ziudith ini adalah sebuah film drama keluarga penuh haru yang dijadwalkan tayang serentak di seluruh bioskop Indonesia mulai 16 Oktober 2025.

Film yang digarap oleh sutradara Dyan Sunu Prastowo ini menghadirkan kisah tentang cinta, janji, perbedaan iman, hingga konsekuensi dari sebuah keputusan besar dalam hidup. Cerita berpusat pada sosok Maria (Michelle Ziudith), seorang perempuan Nasrani yang menikah dengan pria Muslim bernama Fafat (Giorgino Abraham).

Menurut Dyan Sunu Prastowo, “Jangan Panggil Mama Kafir” lahir dari kenyataan yang dekat dengan masyarakat kita. “Film ini lahir dari kisah nyata perjuangan seorang ibu (Michele Ziudith) lintas iman memperjuangkan hak asuh anaknya, sebuah perjalanan emosional yang hangat namun penuh tantangan, mengingatkan kita bahwa cinta tak pernah mengenal batas perbedaan, ruang, dan waktu meski pada akhirnya akan lebih utuh bila dijalani dalam satu keyakinan,” ungkapnya.

Bagi Michelle Ziudith, peran sebagai Maria menjadi tantangan tersendiri. Ia mengaku banyak belajar dari karakter yang diperankannya. “Tantangan terbesarku adalah menjadi ibu tunggal yang harus tegar demi anak. Pesanku sederhana, seorang ibu harus bisa mencintai dirinya sendiri lebih dulu agar kasih sayangnya kepada anak semakin penuh,” ujarnya.

Sementara itu, Giorgino Abraham menuturkan pentingnya karakter Fafat yang meski singkat tetap menjadi fondasi cerita. “Peran Fafat memang tidak banyak muncul, tapi justru menjadi pengantar penting bagi jalan cerita. Yang membuatku tertarik adalah bagaimana karakter ini menunjukkan cinta tanpa paksaan serta menghargai perbedaan dengan toleransi tinggi. Bagiku, sebesar apa pun agama, relasi keluarga terutama cinta seorang ibu dan anak tetap berada di atas segalanya,” katanya.

Elma Theana, yang memerankan Umi Habibah, juga menilai tokoh yang ia mainkan begitu dekat dengan kehidupan nyata. “Umi Habibah adalah representasi banyak orang tua yang keras karena ingin melindungi. Saya yakin penonton akan melihat sisi manusiawinya, meski caranya berbeda,” tuturnya.

Selain Michelle Ziudith, Giorgino, Humaira, dan Elma Theana, film ini juga menampilkan akting Kaneishia Yusuf, Indra Birowo, Tj Ruth, Dira Sugandi, Ence Bagus, Emmie Lemu, Gilbert Patiruhu, Pratiwi Dwiarti, hingga Runny Rudiyanti.

Kehadiran aktor lintas generasi ini menambah kekuatan cerita yang sarat akan konflik batin, nilai-nilai keluarga, dan ikatan emosional yang mendalam.

“Jangan Panggil Mama Kafir” sekaligus menjadi bagian dari perayaan Ulang Tahun ke-21 Maxima Pictures di industri perfilman Indonesia. Melalui kerjasama dengan Rocket Studio Entertainment, Maxima berharap dapat memberikan karya yang bukan hanya menghibur, tetapi juga membuka ruang empati serta refleksi bagi masyarakat dalam memandang perbedaan iman dan kehidupan keluarga.

Trailer resmi film ini sudah dapat disaksikan melalui kanal YouTube MaximaChannel8, sementara informasi tiket akan tersedia melalui berbagai aplikasi pemesanan bioskop. Dengan tema yang menyentuh dan deretan pemain yang kuat, Jangan Panggil Mama Kafir digadang-gadang menjadi salah satu film drama keluarga yang paling ditunggu di penghujung tahun 2025.

Jangan lewatkan kisah tentang cinta, janji, dan perbedaan ini di bioskop mulai 16 Oktober 2025.

Continue Reading