Connect with us

iMusic

Vinyl album “Govinda Live Session – London 2023” laris manis di buru penggemarnya

Published

on

iMusic.id – Sejak pertama kali dirilis pada bulan Juli 2024 lalu, album Vinyl Govinda bertajuk ‘Govinda Live Studio Session – London 2023‘ tak pernah kehilangan antusiasme. Hal tersebut dibuktikan dengan hampir habisnya ketersediaan keping Vinyl yang disediakan untuk album ini. Tercatat, total dari 250 pcs vinyl yang diproduksi pada batch pertama, kini hanya tersisa 100 pcs vinyl saja. Harus diakui jika antusiasme penggemar vinyl di Indonesia memang begitu tinggi dan memiliki pasar tersendiri.

“Alhamdulillah ya, khususnya penggemar vinyl memang yang membeli. Jadi itu membuka mata kita juga kalau vinyl memang punya pasar tersendiri di Indonesia,” ungkap Ifan Govinda ketika ditanya mengenai antusiasme pecinta vinyl.

Bukan tanpa sebab jika album vinyl Govinda bertajuk ‘Govinda Live Studio Session – London 2023’ ini laris manis diburu untuk menjadi collectible items. Pasalnya, proses rekamannya begitu istimewa karena dilakukan di studio musik legendaris dunia, Abbey Road Studios. Bagi Govinda yang beranggotakan Ifan Hadari (vokal), Ade Nurulianto (gitar), Yosafat Luki Marendra (bass) dan Ritchie “Jeje” Ismail (drum), rekaman di salah satu studio rekaman paling sakral di dunia itu menjadi salah satu impian besar sebagai musisi.

Makin istimewa, karena demi semakin menghidupkan komposisi lagu di album ini, Govinda turut menggandeng salah satu orkestra ternama dunia: National Symphony Orchestra (UK). Dari teknis rekaman, Govinda begitu berbangga karena dapat bekerja sama dengan Chris Bolster untuk urusan mixing. Nama engineer yang satu ini begitu termasyhur sebab pernah meramu sound untuk Foo Fighters, Oasis hingga Coldplay. Sedangkan mastering album ini dipercayakan pada Alex Gordon yang pernah bekerja sama dengan The 1975, Keane, hingga Liam Gallagher.

Album ‘Govinda Live Studio Session – London 2023’ ini rasanya telah sanggup memenuhi berbagai aspek sebagai ‘Must Have Collectible Items’. Di antaranya, direkam di studio sakral Abbey Road Studios, menggandeng orkestra taraf dunia untuk aransemen, hingga mixing & mastering oleh sosok-sosok ternama yaitu Chris Bolster dan Alex Gordon.

“Vinyl ini ada 2 piringan hitam, 1 side-nya masing-masing berisi 3 lagu dan jumlahnya ada 12 lagu. Govinda melakukan rekaman ini secara live recording berkolaborasi dengan National Symphony Orchestra London,” terang Ade Govinda.

Lebih spesial lagi, Ade Govinda mengungkapkan jika cover vinyl album ini berisi semua dokumentasi berharga saat rekaman di Abbey Road Studios. Foto-foto tersebut belum pernah dipublikasikan dan hanya khusus diperuntukkan bagi kamu yang membeli vinyl album Govinda, ‘Govinda Live Studio Session – London 2023’.

Jangan sampai kehabisan, karena stok vinyl ‘Govinda Live Studio Session – London 2023’ sudah semakin menipis. Dapatkan segera dengan menghubungi PHR Records (@phr.records) dan Millers Records (@millersrecords_indo) di Instagram. Lamu juga bisa menghubungi via DM Instagram @GovindaOfficial atau chat via WA ke nomor 081-327-154-507 (Brii).

iMusic

Band Bandung, Rutinitas Pagi remake lagu hits T-Five bertajuk “Kau”

Published

on

iMusic.id – Band ‘Rutinitas Pagi’ resmi meremaster lagu legendaris “Kau”, karya Yerri Meiryan yang dipopulerkan oleh T-Five. Dalam versi terbarunya, ‘Rutinitas Pagi’ menghadirkan warna musik yang lebih chill, dan fresh, tanpa menghilangkan nuansa romantis yang menjadi ciri khas lagu tersebut.  

Proses re-master dan re-interpretasi ini dilakukan dengan penuh kehati-hatian. ‘Rutinitas Pagi’ ingin menjaga kehangatan dan kesederhanaan notasi asli, namun memberikan sentuhan baru melalui produksi yang lebih halus, harmoni minimalis, serta groove santai yang menjadi identitas musik mereka.

“Kami tumbuh bersama lagu-lagu T-Five, dan ‘Kau’ adalah salah satu lagu yang paling membekas. Lewat versi ini, kami ingin memberi penghormatan dan juga memperkenalkan lagu ini kepada generasi baru,” ujar ‘Rutinitas Pagi’ dalam pernyataan resmi.

Aransemen terbaru dari ‘Rutinitas Pagi’ ini memperkuat sisi emosional lagu dengan penggunaan gitar clean bernuansa smooth, synth pad lembut, serta beat yang laid-back. Semua elemen tersebut berpadu menciptakan suasana yang lebih intim, cocok untuk menemani aktifitas para pendengarnya.

Versi remaster “Kau” dari ‘Rutinitas Pagi’ sudah tersedia di seluruh platform musik digital mulai minggu ini.

Tentang Rutinitas Pagi

Rutinitas Pagi adalah band pop modern yang dikenal dengan karakter musik ringan, hangat, dan mudah dinikmati. Mereka menggabungkan unsur pop, R&B, yang menjadi identitas khas dalam setiap rilisan mereka sehingga terdengar easy listening dan relate untuk para pendengarnya.

Continue Reading

iMusic

Tiara Andini eksplorasi berbagai lokasi di Singapura untuk video musik “Cinta Seperti Aku”

Published

on

iMusic.id – Setelah merilis albumstudio kedua yang bertajuk “Edelweiss” pada 17 Oktober 2025 lalu, Tiara Andini perkenalkan video musik single “Cinta Seperti Aku” yang merupakansalah satu single dari delapan lagu yang berada di track list album “Edelweiss” tersebut.

Video musik “Cinta Seperti Aku” menampilkan kedalaman emosi dan kedewasaan Tiara Andini dengan latar keindahan lanskap Singapura yang beragam. Lagu ini juga mendapat apresiasi atas liriknya yang menyentuh dan jujur, dipadukan dengan tempo yang santai serta penyampaian yang ekspresif. Sekali lagi, Tiara berhasil mencuri hati para pendengar lewat suara khasnya.

Dalam video musik terbarunya ini Tiara Andini berkolaborasi dengan Singapore Tourism Board yang memvisualisasikan perjalanan Tiara Andini melalui fase patah hati, refleksi, hingga ‘kelahiran kembali’ lewat lanskap ikonik Singapura sebagai cerminan tahapan emosi dalam cinta dan penyembuhan. Melalui kerja sama ini, diharapkan dapat menginspirasi audiens di Indonesia untuk menemukan momen inspiratif mereka sendiri di berbagai sudut Singapura yang berkesan.

Mohamed Hafez Marican, Area Director Singapore Tourism Board Indonesia, mengatakan:
“Kami senang dapat berkolaborasi dengan Tiara Andini untuk menampilkan Singapura melalui video musiknya. Beragam Lokasi mulai dari area tepi perairan hingga atraksi alam menunjukkan tata kota Singapura yang ringkas, di mana beragam pengalaman dapat dijangkau dengan mudah. Lokasi-lokasi ini menggambarkan bagaimana setiap momen di Singapura selalu dekat dan mudah diakses, sehingga pengunjung dapat menciptakan kenangan bermakna dengan effortless.”

Video musik ini mengambil latar di berbagai lokasi di Singapura, termasuk Marina Barrage, Punggol Waterway, Bird Paradise di Mandai Wildlife Reserve, dan Sentosa Sensoryscape. Setiap lokasi menghadirkan karakter yang berbeda mulai dari pemandangan cakrawala terbuka, ruang hijau yang asri, hingga habitat alami yang kaya menciptakan suasana tenang dan imersif yang memperkuat narasi emosional dan reflektif. Dalam potongan behind-the-scenes, Tiara Andini juga membagikan cerita tentang pengalamannya yang singkat namun berkesan selama berada di Singapura, termasuk momen di SkyHelix Sentosa, Asian Civilisations Museum, serta lokasi-lokasi syuting lainnya.

Tiara turut membagikan antusiasmenya saat melakukan syuting di Singapura dan menemukan sisi-sisi baru Singapura yang belum pernah ia lihat sebelumnya,

“Aku senang banget bisa syuting di sini dan aku baru tahu ternyata di Singapura bisa lihat flamingo dari jarak dekat! Beneran dekat. Seru banget,” ujar Tiara.

Sejak perilisan album terbarunya Edelweiss, “Cinta Seperti Aku menjadi salah satu lagu favorit penggemar berkat nuansanya yang easy listening, melodi yang catchy, serta lirik yang relatable. Lagu ini menggambarkan perasaan seseorang yang terluka dan menyampaikan satu permohonan terakhir agar pasangannya mau berubah.

Untuk semakin mendekatkan diri dengan para penggemar setianya di Indonesia, Tiara Andini juga membagikan hadiah pilihan pribadi dari lokasi-lokasi berkesan di Singapura. Para penggemar dapat ikut serta untuk berkesempatan memenangkan item spesial tersebut, yang masing-masing dipilih langsung oleh Tiara Andini dan ditampilkan dalam video behind-the-scenes miliknya.

Continue Reading

iMusic

Perjalanan panjang Edi Kemput di industri musik Indonesia

Published

on

iMusic.id – Di tengah industri musik yang kerap terjebak pada romantisme panggung dan glorifikasi popularitas, Gitaris rock papan atas Indonesia Triwitarto Edi Purnomo atau Edi Kemput hadir sebagai figur yang melampaui batas estetika bunyi.

Edi Kemput yang adalah juga gitaris dari Grassrock ini memaknai musik bukan sekadar ekspresi seni, tetapi sebagai wadah kepedulian, ruang refleksi, dan tanggung jawab moral seorang seniman terhadap sesama dan negaranya.

Lahir di Samarinda, 10 April 1966, Edi Kemput tumbuh bersama denyut perubahan musik Indonesia sejak awal 1980-an. Perjalanan musikalnya dimulai sejak SMP kelas 2, ketika musik masih ia dekati secara polos dan jujur.

“Lagu pertama yang saya mainkan itu lagu anak-anak ‘Naik-Naik ke Puncak Gunung’,” kenang Edi Kemput sambil tersenyum saat di wawancarai wartawan (27/12/2025).

Dari situ, jari-jarinya mulai akrab dengan Akor, hingga suatu hari memainkan lagu ciptaan Rinto Harahap yang dipopulerkan Hetty Koes Endang, fase awal yang perlahan menuntunnya ke dunia musik yang lebih kompleks.

Memasuki SMA Negeri 2 Surabaya, Edi mulai bersentuhan dengan musik instrumen yang kala itu menjadi tren di kalangan pelajar musik.

Sosok Bujana dan band Squirrel menjadi referensi kuat. Bersama rekan-rekannya, ia memainkan karya-karya Indra Lesmana, Alfonso Mouzon, hingga Casiopea.

“Kalau dibilang jazz terlalu luas. Kami menyebutnya lagu-lagu instrumen,” ujar Edi Kemput.

Selepas SMA, Edi sempat menempuh pendidikan di Universitas Dr. Soetomo (Unitomo), Surabaya, jurusan Ilmu Komunikasi (Jurnalistik).

Namun dunia kampus tak mampu menahan lajunya di musik. Ia tidak menyelesaikan studi—karena pada saat yang sama, pintu industri musik mulai terbuka.

Titik balik datang pada 1984, saat Edi bergabung dengan Grass Rock, band yang kemudian menjelma menjadi salah satu ikon rock Indonesia.

Nama “Grass Rock” menyimpan filosofi tersendiri: grass dimaknai sebagai sesuatu yang tumbuh di mana saja—harapan agar musik mereka dapat diterima lintas lapisan sosial.

Mereka mencatat prestasi penting di Festival Log Zelebour, Festival KMSS Jakarta, hingga akhirnya meraih Juara 1 Log Zelebour 1986.

Prestasi individual pun mengiringi :

Edi Kemput – The Best Guitarist (1985 dan 1987)

Rere – The Best Drummer (beberapa tahun berturut-turut)

Mandau – The Best Keyboardist

Puncaknya, Grass Rock dipercaya menjadi band pembuka tur God Bless di 10 kota Indonesia, sebuah legitimasi tak tertulis bahwa mereka telah masuk jajaran elite rock nasional.

Grass Rock merilis lima album dan dua single. Album debut mereka “Peterson (Anak Rembulan)” diproduksi oleh Ian Antono di bawah label Atlantic Records.

Lagu-lagu ciptaan Edi Kemput seperti “Peterson (Anak Rembulan)”, Prasangka”, dan “Bersamamu” menjadi penanda identitas musikal band : melodis, progresif, dan sarat emosi.

Lagu “Bersamamu” diciptakan bersama almarhum Dayan Zmach, sementara “Peterson” menjelma menjadi lagu lintas generasi yang berkali-kali dire-master.

Pada masanya, Grass Rock berdiri sejajar dengan nama-nama besar seperti God Bless, SAS, Makara, Elpamas, dan AKA.

Ia dikenal sebagai gitaris yang diperhitungkan dan kerap menjadi additional player lintas genre, terlibat dalam berbagai proyek besar bersama: Erwin Gutawa Orchestra, Aminoto Kosim Orchestra, Adi MS – Twilite Orchestra, Andi Rianto – Magenta Orchestra, Chrisye, Krisdayanti, Titik DJ, Ruth Sahanaya, Ari Lasso, hingga Iwan Fals & Iwang Noorsaid Band.

Kolaborasinya bersama Iwan Fals dalam album “Orang Gila” menunjukkan fleksibilitas musikal Edi dari rock keras hingga pop progresif kontemporer.

“Yang paling mempengaruhi saya itu Erwin Gutawa. Dia membuka cara pandang bermusik yang lebih luas,” tuturnya.

Namun hidup Edi Kemput tidak berhenti pada panggung dan tepuk tangan. Di balik citra rocker yang kerap dilekatkan pada alkohol, narkoba, dan gaya hidup hedonis ia mengalami titik jenuh. Tahun 2003 menjadi momentum perubahan.

“Capek.. Jiwa capek,” katanya singkat.

Latar keluarga religious ibunya yang aktif dalam kegiatan Nahdlatul Ulama menjadi jangkar yang menahannya dari kehancuran total.

Pernikahan dan kehadiran keluarga menjadi cermin. Perlahan, Edi meninggalkan dunia gelap. Ia berhijrah.

Transformasi itu tidak berhenti pada diri sendiri. Edi kini aktif berbagi ke lapas, komunitas punk, dan kelompok masyarakat yang termarjinalkan. Ia tidak menggurui. Ia berbagi pengalaman hidup.

“Bukan tausiah, tapi sharing,” ujarnya merendah.

Ia terlibat dalam berbagai kegiatan sosial-keagamaan, termasuk “Hijrah Fest Palu 2018”, serta kajian musisi hijrah di berbagai masjid.

Baginya, musik dan iman tidak harus saling meniadakan. Musik, Kepedulian, dan Keikhlasan untuk Sesama

Dalam berbagai momentum solidaritas—termasuk kepedulian untuk saudara-saudara di Sumatera yang tertimpa musibah Edi menegaskan bahwa musik seharusnya hadir sebagai jembatan empati, bukan sekadar seremoni.

“Yang paling penting bukan seberapa besar nilainya, tapi seberapa ikhlas kita berbagi. Di mata Allah, keikhlasan jauh lebih berharga daripada angka,” ujarnya.

Baginya, musik yang dipersembahkan dengan niat tulus untuk meringankan beban sesama adalah bentuk ibadah sosial. Ia menolak menjadikan penderitaan orang lain sebagai alat pencitraan atau kepentingan kelompok.

Edi Kemput juga menyampaikan kritik terbuka kepada pemerintah sebagai pengelola negara. Menurutnya, bencana yang berulang tidak selalu murni kehendak alam, tetapi sering kali lahir dari ketidakjujuran, kelalaian, dan pengelolaan yang tidak amanah.

“Pemimpin harus jujur dan amanah. Kalau tidak, yang selalu menjadi korban adalah rakyat,” tegasnya. Jabatan, bagi Edi, adalah titipan yang kelak harus dipertanggungjawabkan, bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kepada Tuhan.

Kini, di usia hampir 60 tahun, Edi Kemput masih memainkan gitar. Namun distorsi itu kini berpadu dengan kesadaran, empati, dan tanggung jawab sosial.

Di tengah negeri yang terus diuji oleh bencana dan krisis kepercayaan, suara Edi Kemput menjadi pengingat bahwa musik, iman, dan keberpihakan pada kemanusiaan seharusnya berjalan seir ingbukan sebagai topeng, melainkan sebagai komitmen hidup.

“Sebagai musisi atau seniman sebaiknya kita jangan hanya berteriak pada kepentingan golongan atau komunitas saja. Memiliki empati juga harusnya luas karena kita punya hati nurani sebagai manusia untuk berbagi pada segala hal, ” tutup Edi Kemput.

Penulis : Beng Aryanto

Continue Reading